March 3, 2015

Jogja (Tidak) Berbeda



Romantisme lirik lagu Yogyakarta yang ditembangkan Kla Project era 90an, mungkin menjadi salah satu sountrack bagi orang-orang yang pernah datang bahkan menetap di Jogja. Susunan lirik yang apik dan manis termaktub dalam satu rangkaian syair dan nada yang mengajak pendengarnya larut dalam suasana Kota Jogja. Suasana kota yang bersahaja dan ngangeni. Dikhaskan dengan pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan tradisional dan musisi jalanan yang mengiringi  PKL tersebut menggelar dagangannya.

Kla Project tidak salah dalam menggambarkan kota Jogja. Suasana Jogja saat itu adalah suasana Jogja tahun 90an. Saat Jogja masih belum tumbuh dan berkembang seperti saat ini. Belum ada mall, belum banyak hotel, belum macet, belum banyak sampah dan tentu belum sering banjir. 

Sebuah kota memang bisa menghadirkan suasana tertentu bagi penghuni dan orang yang datang. Suasana tersebut dihasilkan oleh jati diri dan identitas kota sehingga menghasilkan rasa yang khas dan berbeda dengan kota lain. Suasana merupakan salah satu hal yang dapat dinikmati secara langsung oleh penghuninya. Orang bisa menilai Jogja bersahaja dan nyaman, karena suasana yang ada memberikan perasaan tersebut. Kota Yogyakarta yang masih kental dengan budaya Jawa, Salah satu destinasi pariwisata, kota pelajar, serta masih adanya bangunan bersejarah  mendukung Jogja menghadirkan suasana bersahaja dan nyaman.
Saat ini, Jogja berkembang dengan pesat mengikuti arus bergulirnya jaman, menjadi lebih modern dari waktu ke waktu. Darimana kita bisa menilai modernitasnya? Mungkin dengan mudah kita akan menjawab dengan banyaknya bangunan tinggi, hotel, mall, jumlah kendaraan bermotor, restoran cepat saji, serta menjamurnya frenchaise swalayan modern. 

Sudah tidak sulit menemukan tempat menginap dengan fasilitas mewah, outlet pakaian dengan brand internasional, bahkan produk makanan atau keperluan sehari hari brand luar negeri sudah sangat mudah dijangkau di Jogja. 

Berproses menjadi modern bukan sebuah kesalahan. Sebuah kota layaknya manusia juga tumbuh, berkembang dan berubah. Tetapi kota adalah sebuah tempat yang memberikan suasana pada penghuninya. Ketika dia berproses menjadi modern dan berkiblat pada kota-kota pendahulunya,  apa bedanya kemudian kota tersebut dengan kota pendahulunya? Bukankah boleh berubah, tetapi sebaiknya tetap menjadi Jogja yang bersahaja dan nyaman? Tidak perlu berandai menjadi Jakarta bahkan Singapura. 

Sekarang, coba capailah bangunan paling tinggi di sekitarmu (bisa mencoba dengan gedung perpustakaan pusat UGM lantai 5), kemudian amati gedung-gedung tinggi apa saja yang kamu ketahui. Mungkin saat ini kamu bisa menyebutkannya satu persatu, karena kamu tau itu bangunan apa dan lokasinya dimana. Mungkin beberapa tahun kemudian saat kamu berada di tempat yang sama dan mencoba menebak bangunan apa saja, kamu tidak bisa yakin. Karena bisa jadi hampir semua bangunan sudah memiliki tinggi yang sama. Keindahan Merapi hanya bisa dilihat melalui gardu pandang saja, bukan dari jendela kamar kosmu lagi. 

Jogja sudah tidak berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Modernitas latah yang tidak memperhatikan kesahajaan dan kenyamanan bercampur aduk dengan bangunan-bangunan tanpa identitas tersebut. Modernitas merupakan hal yang perlu diawasi dan dikontrol. Karena tidak semua hal berbau modernitas adalah baik. Gaya arsitektur bangunan modern minimalis -yang saat ini banyak diadopsi bangunan-bangunan baru di Jogja- pun sebenarnya sudah diakui para arsitek sebagai bangunan yang tidak memberikan ciri identitas. Ciri khas tidak bisa hanya dihadirkan dalam sebuah brand nama saja -mengusung nama Jogja, heritage, traditional-, suasana hadir karena adanya tampilan fisik. 

Mungkin akan hadir suatu masa dimana berjalan-jalan di Jogja seperti berjalan-jalan di Jakarta. Bahkan saat ini Jogja sudah mencicilnya dengan macet, banjir, serta sampah. Tipikal kota berkembang yang seharusnya sudah diwaspadai pemerintah supaya bisa lebih ketat mengontrol dan mengawasi pembangunan.
Jogja tidak berbeda. Tidak berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Hanya menunggu waktu untuknya, kembali atau meninggalkan identitasnya.

Nur Restiani Setyaningrum
Penulis adalah alumni Teknik PWK UGM angkatan 2009

Germany and Me - Religious Experience



That was 2012, the first time I flew to another continent, Europe. Yeah, I went to Germany with my friends, now we are not together anymore. So, I think it is lame I write this in the middle of nite.
Since we won a scholarship from DAAD, we went to Germany for 2 weeks in April. So much experiences. Nevertheless, Europe is totally different with Indonesia. 

 doc: writer

Now, maybe I don’t wanna share about my cool experiences there. Everybody knows Europe is better since its urban planning. I wanna share about being Moslem in a Country which is most of the citizen aren’t Moslem.

Well, I grown up in Indonesia, a place where maybe 90% of citizen are moslem. Islam education is easy to find. There are a lot of Masjid (ok, I write it as its called usually, I don’t want to make an ambiguition if I write Mosq, it’s like I wanna say mosquito). 

So, had a journey in a non-moslem country is kinda lil bit difficult for us. Moreover, all of my female friends include me uses veils. We had a silly experience when in Dubai. People thought we are TKW (Indonesian Female Labours who work in foreign but sometimes unskilled labour, they usually work as maids). Yeah, we can handle that. 

The best part in prayers room in Dubai airport was place to wudhu. It was acomodated we as women who want to wudhu. Very clean, neat. Something different when they did sholat, the women didn’t wear mukena like us. They just wore what they wore at that time. 

Arrived in Germany, it was so hard for us to know when we have to wake up for doing subuh praying and because different time zone, made us lil almost a lot jetlag, we are so surprised that we can do subuh praying in the 08.00 am in  the morning. Which is in Indonesia, we have to do this at 05.00am in the morning. 

The other difficult part was….found a place to do dhuhur and ashar. Because sometimes we still in the outside and there are no masjid in Germany. Although finally we found a masjid when we were in HannoversMuenden. We just walking around there then we met Turkish family who gathered in a kinda building, which was a masjid and some rooms inside. So we did praying then they asked us to stay a little while. They served us some cookies and coke *believe it or not, the cookies like nastar, famous Indonesian cookies which are served when idul fitri and christmas*. I still felt that way, when being minority and finally we found people who are in the same religion like us and we were like family. Even if we were different race, country, and language as well. 

The next place who we visited then we met Moslems was in Kassel. We had a lot time to spend time walk around their campus. OMG, their campus was so big. My little feet was just need to do more effort to finish that journey. Then, when we walked in the student’s dorm, we met a girl wore a veil, and said “assalamualaikum” to us in the crowd. Smiled to us, like no fear and like an old friend. Touched.
Still in the same city, when we walked around the city park, we met a man drove his car, and he waved his arm to us and said “assalamualaikum”. He stopped by and asked some of my male friends to come visit a Masjid near its neighborhood. Me and my female friends didn’t go to the invitation, buth my male friends. They told us that they did maghrib praying together and after finish solat, they had a dinner. The menu was chickens. Please resize Indonesian chicken 3 times bigger, maybe it was the menu’s size. Every body got 1 chicken for dinner. It made me envy that time :D

I thought Kassel has some moslem inside, beside I always found some cathedral. In front of our hotel there was a big church with its big bell. Every morning after we did subuh praying the bell rang. I opened the window, smelled the fresh air and remember the things about meeting a new family here. Maybe it is an ukhuwah islamiyah. I felt how we didn’t know each other but they served us like their family well. May Allah give them his blessings, so do we.

Salam,
Resti

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...