February 9, 2015

Perlu kah Kita ke Jakarta?

Selepas lulus, umm... bahkan sebelum aku lulus, aku sudah mencoba menebar pesona ke beberapa tempat kerja. Baik swasta maupun negri. Alhamdulillah di beberapa tempat yg prestise aku bisa lolos di tahap pertama, kedua ketiga..bahkan hingga tahap akhir..tinggal wawancara final aja lah. And every step I took, I failed. Perfectly. 

Again, again and again, I try so hard to make sure, there are a lot of chance I can take to make my dream comes true. Being a career woman living in a metropolitan city. Blame me for being contaminated by some novels, books, movies I've ever read and seen, which are talked about single woman, living in capital city, brave, cool, georgeous, and independent. Yeah, Iam a good or maybe best dreamer. But I am not only dream, I do whatever I can do to make my dream can be a reality. 

Maybe, God doesnt agree if I live in metropolitan city called Jakarta. Paradise and hell in one city. Based on the national history, Jakarta used to be a one of  famous harbour in Java island. Its location makes Jakarta the best place to be trade center. In the past, people came to Jakarta to find a better job. Now we called urbanization.

Jakarta dulu sempat berganti nama sesuai dengan siapa yang menguasainya. Jakarta sempat jadi tempat rebutan juga. Antara penguasa Indonesia dan juga Belanda. Betapa pesona Jakarta memang sudah menjadi takdirnya. Entah apa yang dimiliki sehingga magnet yang begitu besar tersebut menghantarkan dia menjadi Ibu Kota Indonesia. Hanya secuplik wilayah kecil di utara pulau jawa bagian barat. Saat ini wilayah tersebut menjadi wadah beban terberat pulau jawa. 

Jakarta dari jaman dahulu kala hingga saat ini dengan pesonanya, meninggalkan cacat yang harus dirasakan setiap waktu oleh penghuninya. Banjir. Luapan air yang memang jika tidak diberi resapan akan menggenang daratan kota ini. Belanda saat menduduki Jakarta lebih memiliki sikap memelihara. Kepandaian mereka, mereka aplikasikan untuk mendesain Jakarta supaya terbebas dari Banjir langganan. Sekarang, saat hampir semua manusia bergelar sarjana mengisi Jakarta, saat jaman sudah merdeka, banjir semakin parah saja. Bahkan untuk memperkecil rasa bersalah pemerintah, sampe ada frasa "banjir kiriman". Mending dikirim uang atau makanan. Seolah-olah banjir datang bukan hanya karena salah penataan kota, tapi karena "dikirim" dari kota sebelah.

Dengan permasalahan kota besar di negara berkembang, Jakarta masih saja menjadi tujuan. Menyandang nama Jakarta sebagai kota domisili sementara menjadi hal yang membanggakan. 
"Kerja di mana sekarang?" 
"Di Jakarta"
Terutama jika kamu adalah seorang FreshGrad. Dalam pikiranku dan mungkin saja pikiran orang-orang pada umumnya mendengar jawaban seperti itu pasti "Wow, keren ya, hebat ya, di Jakarta".

Hebat dan Keren memang kata teman-2ku. Pulang kerja mereka bisa  hang out ke tempat2 gaul Ibukota. Counter2 pakaian ternama berjajar di sana, menunjang penampilan setiap saat. Orang-orang hebat yang setiap hari muncul di layar tivi bisa dengan mudah di lihat, bahkan di tempat umum. Gedung2 bagus dan menjulang yang nyaman untuk bekerja. Nama-nama perusahaan beken yang bergaung di setiap lantai gedung, menunjukkan betapa hebatnya manusia-manusia di dalamnya. Kehidupan yang sepertinya modern dan dinamis. 

Teman-2ku mengiyakan itu semua, di samping mereka juga menceritakan selama ini mereka jarang bertemu matahari. Berangkat saat pagi buta, pulang saat malam gulita.  Keluhan mereka di media sosial saat jam pulang kerja menunjukkan masa muda mereka terkikis sedikit demi sedikit d jalanan. Keengganan sebelah mereka untuk menjawab saat ditanya "jam berapa", membuat mereka semakin tidak peduli. 

Jika benar Jakarta seperti itu, 
Kenapa masih saja mereka mau ke Jakarta? 
Kenapa aku masih penasaran dengan Jakarta?

Jika benar intelektualitas diri ini sanggup, tetapi takdir dari atas tidak mengatakan "IYA" buat apa memaksa dan harus kesana?
Bukankah, masih banyak tempat untuk hidup dan bekerja tanpa adanya tekanan-tekanan sosial dan mental?
Meski bukan warga ibu kota, meski tidak bekerja di gedung bagus dengan label ternama dan pakaian mahal, masih bisa hidup, ya kan?
Belajar hidup?
Belajar mandiri?
Batu Loncatan?
Semua tempat bisa memberikan itu semua. Tidak perlu memaksa ke Jakarta jika bukan takdirnya. 
Tetapi batu loncatan, bisa jadi Jakarta. Tapi entahlah. Untuk meloncat kemana harus ke Jakarta dulu?

Hidup selalu adalah pilihan. 
Seperti tempat untuk hidup, seperti memilih Jakarta atau bukan.
 
Ketika memilih untuk keberlangsungan hidup, pastilah kita memilih tempat yang nyaman, aman dimana kita bisa berkumpul dengan keluarga dan membesarkan anak-anak tanpa rasa cemas dan takut secara berlebihan. 
Jika keputusan itu ada sekarang, maka aku lebih memilih untuk tidak ke Jakarta. 
Aku tidak perlu ke Jakarta. 

Biarlah Jakarta seperti itu apa adanya. Biarlah mereka yang dengan takdirnya saja yang ke Jakarta. Biarkan aku yang dengan takdirku tetap di sini. Atau di tempat lain yang bukan Jakarta. 
Setiap kita memiliki takdir tempat yang berbeda. Setiap kita dipercaya untuk bisa menjaga kotanya. 
Toh, Tuhan tidak akan mengumpulkan kita nanti di hari kiamat berdasarkan domisili, tempat kerja, atau merk pakaian yang dipakai setiap hari.
Toh, hidup di Jakarta bukan menjadi jaminan kita hidup bahagia.
Toh, kita tidak bisa menyombongkan Jakarta saat ditanya malaikat. 

Jadi, Res, Jakarta atau tidak?

Salam, 
Resti
-seseorang yang pernah bermimpi menjadi besar di ibukota, menjadi bagian metropolitan yang gagah, dan kemudian harus sadar bahwa Tuhan tidak menjalurkan takdir ke arah sana. Harus belok atau menetap di tempat yang akan lebih banyak kejutan nantinya-



February 7, 2015

the relationship of distance

Hi there,

The one who calls me sweet heart everyday
Since I awake in the morning 'till I fall asleep in the middle of nite.

I felt like a fool, for being the one who stand still in this distance
To the whatever number of my relationship, i took this risk to stay away from him

I know, it's so hard to find a man near me and available everyday to meet me
people dream, people work, people move
So does you
So do I

Technology tries to connect us, the people who try to make the long distance relationship works
Technology tries to reduce the distance just only signal and wires
But technology can't make this hand hold on you
these eyes can't catch your moves
and can't replace the body of you

Some people said that, the probability of the succeed of LDR is rare.
Relationship needs comunications, the more distance you all separate, the more you need communication to him/her

And, now im not the only one who try to make this effort works
i walk, you walk
we try togehter to make it works
together in different place and space

i dont know, when are we feel tired walking together but actually alone.





February 6, 2015

Review Buku - Sabtu Bersama Bapak

Pada kesempatan kali ini, aku mau review salah satu buku dari sekian buku yang aku hedon di awal bulan ini sebagai penghalau kesepian atas dibengkelkannya hape ku yang aku sayangi dan banggakan. 

Well, kali ini aku mau review buku pertama yang udah selesai aku baca. Judulnya adalah Sabtu Bersama Bapak yang ditulis oleh Adhitya Mulya.
Beliau adalah salah satu penulis buku favoritku sejak pertama aku baca buku Jomblo dan Gege Mengejar Cinta saat SMA dulu. 
Istri dari Adhitya Mulya ini juga penulis, namanya Ninit Yunita. Tulisan Teh Ninit ini juga keren. I love their taste of writing pokonya. 

Aku gatau pasti buku Sabtu Bersama Bapak (SBB) ini buku keberapa Adhitya Mulya. Yang jelas buku ini rentangnya jauh bgt dari buku terakhir yang beliau tulis. 

SBB diterbitkan Gagas Media, penerbit yang sama *kalo ga salah* dengan buku2 yang terdahulu. Buku ini punya halaman sekitar 270an lebih lah. Packaging buku ini bagus dan menarik menurut aku sih. 

Buku ini mengisahkan tentang beberapa orang...tentang seorang ayah yang ingin membesarkan anaknya tetapi terhambat penyakit yang diderita sehingga harus meninggalkan keluarga kecilnya, seorang istri yang berjuang membesarkan kedua anak laki-lakinya, Cakra dan Satya dan mandiri tanpa menyusahkan anak-anaknya, serta cerita tentang pencarian pasangan hidup dan tentang berusaha menjadi ayah yang baik. 

Complicated ya aku jelasinnya. Im sorry, i am not a good writer by the way

 Cover Buku Sabtu Bersama Bapak, eye catching kan?
sumber: http://suamigila.com/wp/wp-content/uploads/2014/06/sabtu-bersama-bapak_revisi-cover.jpg

Ceritanya dimulai ketika Pak Gunawan, laki-laki berkeluarga dengan seorang istri bernama Ibu Itje dan kedua anak laki-laki yang masih kecil yaitu Satya Garnida dan Cakra Garnida. Pak Gunawan menderita kanker, diproyeksikan usianya tidak akan lama lagi. Padahal kala itu anak-anaknya masih kecil, Pak Gunawan ingin sekali bisa menemani tumbuh kembang anak-anaknya supaya mereka tidak kehilangan sosok ayah terlalu cepat. Begitu pula kepada istrinya, Pak Gunawan tidak ingin setelah beliau meninggal, istrinya harus kepayahan membiayai anak-anaknya sekolah dan untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, Pak Gunawan merencanakaan banyak sekali hal supaya orang-orang terkasihnya tetap bahagia dan bisa mandiri. 

Pak Gunawan kemudian membuat beberapa video yang setelah beliau meninggal, istrinya akan memutar video tersebut setiap sabtu untuk anak-anaknya. Video tersebut berisi pesan-pesan Pak Gunawan untuk anak-anaknya. Video tersebut direkam sendiri sebelum Pak Gunawan mninggal dibantu oleh istrinya. 

Time flies, Satya dan Cakra tumbuh dewasa. Satya bahkan sudah menikah dan memiliki 3 orang anak laki-laki. Dia tinggal di Denmark karena dia bekerja di oil and gas company yang harus sering kembali ke tengah laut. Sementara Cakra, dengan usia yang cukup dan kemapanan yang dimiliki sebagai deputi sebuah bank luar negeri masih setia dengan kesendiriannya. 
Sementara Bu Itje sibuk dan sukses dengan bisnis 8 tempat makan yang dirintisnya perlahan, sehingga beliau menua dan tidak merepotkan anak-anaknya secara finansial. 

Problem muncul ketika Satya menjadi ayah yang ditakuti anak-anak dan istrinya serta Cakra yang tidak bisa mengutarakan perasaan pada gadis pujaan dan udah ga ada harapan lagi kemudian menyetujui usul ibunya untuk dikenalkan pada anak temannya. 

Ceritanya simpel, tetapi dalam.  Bagaimana Satya dan Cakra melaksanakan  pesan-pesan almarhum ayahnya yang hanya lewat video, bagaimana komunikasi adalah sebuah hal yang paling pokok ketika kita menjalin sebuah hubungan dengan orang lain, serta bagaimana menyayangi orang tua kita. 

Buku ini disarankan sekali buat teman-teman yang ingin membacanya. Buku ini penuh dengan pesan-pesan dasar yang orang tua kita juga pasti pesankan pada kita, menyemangati hati-hati yang layu setelah patah hati, merubah pola pikir dan tentu saja berubah menjadi lebih baik bagi orang yang kita sayang. 


In the end of the book, the teardrop from my eyes almost fall down. Full of surprises. Gaya bahasa yang mudah dimengerti, setting latar cerita dan waktu yang tidak amburadul, serta diksi yang digunakan, yummy sekali.

Finally, cukup sekian review buku dari aku. Hmmm masih ada sekitar 4 an buku baru yang sedang minta dijamah. Pengangguran? iya saya. Untuk tetap menghidupkan otak dan perasaan ini aku selalu mencoba untuk membaca dan kemudian menulis. Semoga dengan usaha kecil dan doa-doa ku, keajaiban segera datang. Supaya aku ga useless lg. Yah, curhat kan. 

Salam, 

Resti, a book worm amateur writer and still waiting for the best miracle.
  

PS: i downloaded the cover of the book from adhitya mulya's blog. 
http://suamigila.com/wp/wp-content/uploads/2014/06/sabtu-bersama-bapak_revisi-cover.jpg

February 3, 2015

I am just a human without technology, and I still alive

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada semua orang yang ada di kontak handphoneku, untuk sekitar 1 minggu kedepan, aku ga bisa waapan, line, instagram, bbm dan secara cepat menemukan email baru.

Handphone saya, motherf****nya ummm bukan,,, tapi motherboardnya rusak. 4 bulan loh dari pertama aku beli baru. Btw, motherboard itu semacam otaknya android ya, jadi klo dia rusak, hape mau nyala, tapi jadi bego, no command ke systemnya. udah di restart berkali kali pun tetap begitu.


Salah siapa? ga ada yang salah, tapi agak kesel juga sih. Motherboard rusak kan disebabkan karena panas yang terlalu di mesin hapenya. Nah, hapeku itu adalah hape yang gampang banget panas. Buat dipegang dikit panas. Manja. Aku pengen bakar itu asus dan pabrik2nya. Ah, ga boleh gitu. Gitu2 juga hapenya aku beli pake duit keringat sendiri. Sampe harus dibuang ke kalimantan kan? Asus juga udah baik banget nyiptain hape dengan segala fitur yang aku mau. Ciptaan manusia sesempurna apapun juga ga mungkin ga ada cacatnya. Ya itu gampang panas aja mesinnya.


Pertama tau rusaknya fatal banget, pengen langsung aku lari ke stasiun balik ke jogja saat itu juga. Ibuku nelpon, akupun bilang hapeku rusak parah dan aku mau segera balik. Tapi, rasanya aku ga jadi pengen balik cepet2.

"hapenya aku rusa bu, kalo mbenerin butuh seminggu, aku pulang ke jogja aja ya besok."
"loh, jangan, ibu kan masih kangen. hapemu kan masih bisa dipake"
"iya tapi kan gabisa buat wasap, line, internet."
"halah, dulu ga ada juga masih tetep hidup kan?"

Iya, bener juga. Tapi gimana? arus informasi kan sekarang serba lewat medsos. Apalagi aku yang enbe jobseeker banget ini.

Beruntung masih ada hape ciki. Meskipun ga ada pulsanya. Ya maap maap deh ya.

Life without those medias, make me lil bit crazy. Ga salah dong tadi akhirnya aku beli 3 buku yang selama ini aku pengen banget. Membunuh sepi. Membunuh apalagi ya? kecoa?


Yang penting, aku masih hidup. Aku masih bisa komunikasi meskipun terbatas, Yang jelas, mungkin ini bisa jadi socmed therapy. Mungkin aku butuh waktu buat kabur dan lari dari hingar bingar sosial media yang mengemas segala sesuatu menjadi lebih mengerikan dari aslinya.

Aku butuh istirahat dan berdamai dengan hidupku yang akhir2 ini aku bilang berantakan. Hmppfft.

God gives the best therapy. And I dont want to su udzon.

Resti udah sering kecewa, patah hati dan mau mati aja berkali-kali kan? Jadi harusnya masalah begini bukan a big deal buat nyalahin bahwa nasib lagi buruk banget. Bahwa Tuhan lagi benci bangt dan ngasih ujian yang ga adil ke Resti.

Kaya gini kan Resti jadi ga bbman mulu, wasapan mulu, tapi bisa ngeblog lagi. Nulis macem-macem. Nanananina.

Kadang banyak hal yang dulu pengen banget dilakuin tapi tetep ga bisa dilakuin meskipun secara sadar bisa, tapi karena banyak hal yang menghambat, jadi molor lagi.

Now, I am Flinstone. Without smartphone and without huge access to internet. But, I can live my life wisely. I wish this moment could be the greatest moment to recharge my energy.

Home, smartphoneless, Family. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?


salam.

Resti, 24yo and still alive without smartphone.

February 2, 2015

The Graduation

Alhamdulillah

Salah satu tujuan di tahun 2015 ini sudah terkabul diawal tahun. Tanggal 22 Januari yang lalu aku wisuda untuk kedua kalinya. Entah hanya pikiranku atau memang wisuda kedua ini lebih berat. Entah dari atribut pakaian wisudanya hingga gelar yang sudah menambah nama panjang ku jadi semakin panjang.

Hari itu sebenarnya aku masih ga nyangka aku akhirnya wisuda lagi. Orang tua dan adik2 udah aku bookingin kamar di Wisma Kagama. Kenapa Wisma Kagama? Sebab
1. lokasinya dekat dengan GSP  *antisipasi telat dateng kaya pas wisuda taun kemaren*
2. Wisma yang jadi langganan pas wisuda taun kemaren udah fool booked
3. Murah Meriah

Keluarga udah dateng sehari sebelum aku wisuda. Langsung aja boyongan ke wisma nya. Hmm....malamnya aku fitting semua baju. Mulai baju kebaya hingga toga wisuda. Malam hari itu, aku paksain buat tidur. Karena aku mesti bangun pagi dan bersiap ke tempat wisudaan. Akhirnya dengan segenap upaya tidur, akupun terlelepa dan bangun pukul 3 pagi. Duh, masih kepagian banget ga sih? Akhirnya aku ngumpulin nyawa dulu dan mandi jam setengah 4. Habis mandi, aku nunggu adzan subuh. Aku sarapan roti yang ada di wisma saat itu. Adzan lalu aku solat kemudian siap ber make up.
Wisuda kali ini aku make up sendiri. Dengan alasan lebih hemat waktu, hemat biaya dan tentu saja nambah persenjataan make up. Hehehehe.

Walhasil jam setengah 6 aku selesai make up dan ready to go to GSP. Dengan kecerobohan tingkat dewa, aku ternyata lupa pake samir. Aku baru sadar di pertigaan boulevard. Iya, sejengkal lagi masuk parkiran GSP. Akhirnya adikku putar balik dan aku lari2 kecil naik ke lante 2 mau ambil samir itu. Eh ternyata ibuku udah langsung ambilin, jadi aku bergegas lagi lari ke mobil dannnn...macetttt.

Aku sangka wisuda Pascasarjana dan Program Doktor tidak akan semeriah wisuda sarjana tahun lalu. Nyatanya yaa 75% aku salah. Namanya wisuda selalu ramai.

Sampe mau tempat absen, mobil2 pengantar wisudawan udah gabisa gerak. Aku akhirnya minta turun aja dari mobil. Kasian adikku mesti mencet kopling kelamaan. Walhasil aku jalan kaki dengan hak 9cm. Cool.

Aku langsung menuju tempat absen dan ambil nomorurut dan tempat duduk. Ternyata lama banget nunggu masuk ke gedung GSP nya. Dan wisudawan di situ ga ada yang aku kenal. Rata-2 mereka sudah tua. Iyalah. Gada temen KKN, temen SMA yang adabapak-bapak dan ibu-ibu.

Pukul 7.15 *kayaknya* bariwsan wisudawan mulai diminta masuk ke GSP berurutan. Fakultas Teknik kali ini mendapat urutan ke dua. Fyuhh...akhirnya ya bisa masuk juga setelah berdiri lama2 di bawah tenda tunggu. Menunggu kemudian haya pindah ruang saja ternyata. Di dalam GSP, kami semua *wisudawan wisudawati* masih nunggu hingga kurang lebih satu jam dengan dihibur oleh alunan suara gendhing yang berasal dari gamelan yang ditabuh oleh *aku gatau siapa* para niyaga.

Kemudian terdengarlah lagu Gaudeamus igitur mengalun dinyanyikan oleh PSM diiringi GMCO. Rektor beserta para dekan dari masing-masing fakultas masuk ke aula wisuda. Ya rentetan acara wisuda yaa berlangsung....kemudian saatnya aku aju buat dikasih ijasah! yeay.

Hal yang selalu menjadi perhatianku saat wisudaan adalah saat PSM dan GMCO nyanyiin lagu. Wisuda kali ini mereka membawakan lagu Cintaku milik Chrisye (Alm) dan We Are The Champion (Queen).Satu hal yang aku kagum banget dari GMCO adalah aransemen yang fresh dan apik. Uwuwuwuw bgt lah. Bagi yang belum denger perform mereka bisa dateng ke wisudaan UGM atau nonton konser mereka deh, Hehehehe,

Finally, aku wisuda juga. Udah bukan mahasiswa dan bukan lagi anak-anak yang harus minta duit orang tua secara total. Sudah jadi jobseeker dengan berkali2 ditolak instansi swasta dan baru kemaren oleh instansi negeri. Mau dimana saya? Hm....Doakan saja ya teman-teman.


Foto di depan panggung wisuda

 Foto di luar GSP bareng keluarga


Foto bareng Teman2 di luar GSP

Foto bareng Dosen-Dosen di Jurusan 



*all photos are writer's documentary*

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...