taken here
Dulu, saat tinggal
di Purwokerto maupun Jogja kalo pergi-pergi ga repot harus naik apa dan turun
di mana. Sejauh-jauh tujuan, dapat dijangkau dengan sepeda motor. Sekarang?
Jangan harap.
Hidup di area
suburban dan bekerja di pusat kota, lebih lancar naik KRL. Masih memilih
kendaraan pribadi? Silakan saja jika mau terjebak macet, kepanasan, kehujanan,
belum bising klakson tidak sabaran.
KRL salah satu
sarana yang diandalkan masyarakat yang tinggal di Bodetabek, kawasan suburban
atau kawasan pinggiran Jakarta yang diyakini menjadi kawasan permukiman yang
lebih nyaman dibanding Jakarta. KRL yang membelah jakarta ke masing-masing
suburban tersebut beroperasi setiap hari mulai pagi selepas subuh hingga hampir
tengah malam. KRL sendiri berada di naungan PT KAI Commuter Jabodetabek yang merupakan salah satu anak perusahaan di lingkungan PT KERETA API (Persero) yang dibentuk sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2008 dan Surat Menneg BUMN No. S-653/MBU/2008 tanggal 12 Agustus 2008 (source here)
Kegiatan
bertransportasi tidak akan ada habisnya. Manusia bergerak berpindah dari satu
titik ke tempat lainnya. Pagi berangkat kerja ke kantor, sore pulang dari
kantor ke rumah.
Beruntung sekali
kehadiran KRL ini menyelamatkan nasib orang-orang yang tidak sanggup tinggal di
Jakarta dan memilih kawasan pinggiran untuk berhuni. Dengan harga yang relatif
murah, bisa menempuh belasan kilo hingga puluhan kilometer tanpa harga yang
menguras
kantong.
Harga murah, cepat
dan bebas macet. Seolah tiada cela. Ah, kata siapa? Masyarakat kadang harus
merasa dicurangi setiap kali mereka naik KRL.
Di luar negeri,
kereta listrik mereka memiliki jadwal yang pasti. Setiap keterlambatan barang 1
detik akan diberitahukan terlebih dahulu kepada calon penumpang.
“Kalau di Jerman, malam sebelum kereta berangkat sudah
dikabarin dulu calon-calon penumpang, via internet atau pengumuman di stasiun.
Dan terlambatnya pun hanya 5 menit paling lama.”
Kristine Warga Jerman, 2012.
Di sini? Terlambat
bisa setengah jam, yang dilakukan petugas hanya minta maaf lewat pengeras
suara. Respon penumpang? Ada yang
melenguh, menggerutu, mengumpat, bahkan sampai lelahnya hingga tidak peduli
lagi dan asyik berkutat dengan gadget mereka.
Selain waktu, cela
apa lagi?
Hm, kapasitas ruang
KRL. Sering setiap pagi, aku harus berlomba berjejal dengan penumpang lain.
Baik laki-laki maupun perempuan. Setelah masuk di dalam gerbong, badan dimana
kaki dimana...Belum lagi harus menjaga diri, siapa tahu ada tangan-tangan
nakal.
Keterlambatan bukan
hanya masalah jam tiba atau jam berangkat, terkadang kereta harus berhenti
karena menunggu sinyal masuk stasiun lain. Bukan tidak mungkin, nunggunya harus
ngantri di belakang kereta-kereta lain yang juga mau masuk.
Sering aku melihat
orang-orang yang berdiri di tepi pintu harus berusaha menjejal masuk atau
dipaksa oleh petugas untuk masuk, karena pintu otomatis akan tertutup. Setelah semua
pintu tertutup, pemandangan tersisa hanyalah wajah dan tubuh penumpang yang menempel
di jendela KRL. Seperti ikan di akuarium. Di stasiun pemberhentian berikutnya, merekapun harus siaga
jika pintu kembali terbuka.
Kepadatan penumpang mungkin
juga hasil dari ketidaktepatan waktu. Penumpang berjudi kapan kira-kira kereta
selanjutnya datang, kira-kira bakalan nunggu sinyal masuk ga ya?
Kira-kira naik gerbong sebelah
mana yang kosong?
Ketidakpastian menjadi bagian yang telah merenggut waktu para commuter
termasuk aku. Waktu terbuang setelah ketidak pastian tersebut terjadi, masih
lagi harus antri pindah jalur atau keluar stasiun. Ya! Kapasitas stasiun juga
masih kurang.
Cela-cela tersebut masih harus ditambah dengan cela yang penumpang buat
sendiri. Entah ini peraturan siapa, tapi yang jelas perempuan layak mendapat
prioritas tempat duduk di kendaraan umum. Entah dia hamil, membawa anak, atau
sudah lansia. Nyatanya, wanita hamil yang jelas-jelas berperut besar, kadang
harus ikut menggantungkan tangan daripada mendapat tempat duduk di kursi
prioritas. Kalo mau duduk, harus bilang dulu “saya hamil”. Penumpang lain
seolah tidak mau peduli dengan mata mereka, mereka tidur sekenanya sambil
menyumpal lubang telinga dengan earphone yang mungkin tidak terhubung dengan port gadget.
Memaklumi ketidakpastian dan ketidakpedulian lebih tepatnya ketika harus
naik KRL. Meskipun masih banyak orang baik yang akan menawarkan kursinya tanpa
harus buat pengumuman “saya hamil”, masih banyak orang baik yang akan menunggu
penumpang keluar lebih dulu daripada menyerobot masuk demi sebuah kursi, dan
masih banyak lagi.
Lalu apakah aku menyesal dan kecewa?
Kecewa pasti. Menyesal untuk apa? Bahkan aku akan berterimakasih karena
keberadaan KRL benar-benar menyelamatkan kehidupanku dan banyak orang lainnya. Pintar-pintar
kita saja menjaga diri. Karena humanis terkadang ga harus seperti luar negeri. Tapi
ketika bisa diciptakan sendiri.
salam,
resti -commuter KRL st.sudimara-st.sudirman PP-
Aku juga pakai commuterline setiap hari mba :)
ReplyDeletehalo mba salam kenal. iya saya ini baru sebulanan jd commuter. sesuatu bgt buat saya. sudah ada 2 ostingan ttg KRL.
DeleteHai mb, selalu antusia baca tentang krl, dulu pas masi kerja di jakpus aku pp dari tangerang via krl, hihi beragam cerita dah terangkum liwat krl, gado2 rasanya klo nostalgia lagi
ReplyDeleteKlo aku suka dramanya pas ngambrek pnumpang di duri akibat kedatangan dari 3 jalur, jadi nuju tangerangnya langsung siap2 jd pepes teri hihi
hahaha iya, aku juga sll antusias dg cerita2 KRL, terlebih bbrp waktu lalu ak naik KRL yang ddlm gerbongnya ada 3 wanita histeria sampe pingsan. loh mbak skrg ga bekerja dluar lg kah?
Delete