September 15, 2016

Cerita tentang KRL



 taken here

Dulu, saat tinggal di Purwokerto maupun Jogja kalo pergi-pergi ga repot harus naik apa dan turun di mana. Sejauh-jauh tujuan, dapat dijangkau dengan sepeda motor. Sekarang? Jangan harap.
Hidup di area suburban dan bekerja di pusat kota, lebih lancar naik KRL. Masih memilih kendaraan pribadi? Silakan saja jika mau terjebak macet, kepanasan, kehujanan, belum bising klakson tidak sabaran.

KRL salah satu sarana yang diandalkan masyarakat yang tinggal di Bodetabek, kawasan suburban atau kawasan pinggiran Jakarta yang diyakini menjadi kawasan permukiman yang lebih nyaman dibanding Jakarta. KRL yang membelah jakarta ke masing-masing suburban tersebut beroperasi setiap hari mulai pagi selepas subuh hingga hampir tengah malam. KRL sendiri berada di naungan PT KAI Commuter Jabodetabek yang merupakan salah satu anak perusahaan di lingkungan PT KERETA API (Persero) yang dibentuk sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2008 dan Surat Menneg BUMN No. S-653/MBU/2008 tanggal 12 Agustus 2008 (source here)

Kegiatan bertransportasi tidak akan ada habisnya. Manusia bergerak berpindah dari satu titik ke tempat lainnya. Pagi berangkat kerja ke kantor, sore pulang dari kantor ke rumah.
Beruntung sekali kehadiran KRL ini menyelamatkan nasib orang-orang yang tidak sanggup tinggal di Jakarta dan memilih kawasan pinggiran untuk berhuni. Dengan harga yang relatif murah, bisa menempuh belasan kilo hingga puluhan kilometer tanpa harga yang menguras kantong.

Harga murah, cepat dan bebas macet. Seolah tiada cela. Ah, kata siapa? Masyarakat kadang harus merasa dicurangi setiap kali mereka naik KRL.
Di luar negeri, kereta listrik mereka memiliki jadwal yang pasti. Setiap keterlambatan barang 1 detik akan diberitahukan terlebih dahulu kepada calon penumpang. 

“Kalau di Jerman, malam sebelum kereta berangkat sudah dikabarin dulu calon-calon penumpang, via internet atau pengumuman di stasiun. Dan terlambatnya pun hanya 5 menit paling lama.” Kristine Warga Jerman, 2012.

Di sini? Terlambat bisa setengah jam, yang dilakukan petugas hanya minta maaf lewat pengeras suara. Respon penumpang? Ada yang melenguh, menggerutu, mengumpat, bahkan sampai lelahnya hingga tidak peduli lagi dan asyik berkutat dengan gadget mereka.
Selain waktu, cela apa lagi?

Hm, kapasitas ruang KRL. Sering setiap pagi, aku harus berlomba berjejal dengan penumpang lain. Baik laki-laki maupun perempuan. Setelah masuk di dalam gerbong, badan dimana kaki dimana...Belum lagi harus menjaga diri, siapa tahu ada tangan-tangan nakal.

Keterlambatan bukan hanya masalah jam tiba atau jam berangkat, terkadang kereta harus berhenti karena menunggu sinyal masuk stasiun lain. Bukan tidak mungkin, nunggunya harus ngantri di belakang kereta-kereta lain yang juga mau masuk. 

Sering aku melihat orang-orang yang berdiri di tepi pintu harus berusaha menjejal masuk atau dipaksa oleh petugas untuk masuk, karena pintu otomatis akan tertutup. Setelah semua pintu tertutup, pemandangan tersisa hanyalah wajah dan tubuh penumpang yang menempel di jendela KRL. Seperti ikan di akuarium. Di stasiun pemberhentian berikutnya, merekapun harus siaga jika pintu kembali terbuka. 

Kepadatan penumpang mungkin juga hasil dari ketidaktepatan waktu. Penumpang berjudi kapan kira-kira kereta selanjutnya datang, kira-kira bakalan nunggu sinyal masuk ga ya? Kira-kira naik gerbong sebelah mana yang kosong? 

Ketidakpastian menjadi bagian yang telah merenggut waktu para commuter termasuk aku. Waktu terbuang setelah ketidak pastian tersebut terjadi, masih lagi harus antri pindah jalur atau keluar stasiun. Ya! Kapasitas stasiun juga masih kurang. 

Cela-cela tersebut masih harus ditambah dengan cela yang penumpang buat sendiri. Entah ini peraturan siapa, tapi yang jelas perempuan layak mendapat prioritas tempat duduk di kendaraan umum. Entah dia hamil, membawa anak, atau sudah lansia. Nyatanya, wanita hamil yang jelas-jelas berperut besar, kadang harus ikut menggantungkan tangan daripada mendapat tempat duduk di kursi prioritas. Kalo mau duduk, harus bilang dulu “saya hamil”. Penumpang lain seolah tidak mau peduli dengan mata mereka, mereka tidur sekenanya sambil menyumpal lubang telinga dengan earphone yang mungkin tidak terhubung dengan port gadget.

Memaklumi ketidakpastian dan ketidakpedulian lebih tepatnya ketika harus naik KRL. Meskipun masih banyak orang baik yang akan menawarkan kursinya tanpa harus buat pengumuman “saya hamil”, masih banyak orang baik yang akan menunggu penumpang keluar lebih dulu daripada menyerobot masuk demi sebuah kursi, dan masih banyak lagi. 

Lalu apakah aku menyesal dan kecewa?

Kecewa pasti. Menyesal untuk apa? Bahkan aku akan berterimakasih karena keberadaan KRL benar-benar menyelamatkan kehidupanku dan banyak orang lainnya. Pintar-pintar kita saja menjaga diri. Karena humanis terkadang ga harus seperti luar negeri. Tapi ketika bisa diciptakan sendiri.

salam,
resti -commuter KRL st.sudimara-st.sudirman PP-

4 comments:

  1. Aku juga pakai commuterline setiap hari mba :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. halo mba salam kenal. iya saya ini baru sebulanan jd commuter. sesuatu bgt buat saya. sudah ada 2 ostingan ttg KRL.

      Delete
  2. Hai mb, selalu antusia baca tentang krl, dulu pas masi kerja di jakpus aku pp dari tangerang via krl, hihi beragam cerita dah terangkum liwat krl, gado2 rasanya klo nostalgia lagi
    Klo aku suka dramanya pas ngambrek pnumpang di duri akibat kedatangan dari 3 jalur, jadi nuju tangerangnya langsung siap2 jd pepes teri hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya, aku juga sll antusias dg cerita2 KRL, terlebih bbrp waktu lalu ak naik KRL yang ddlm gerbongnya ada 3 wanita histeria sampe pingsan. loh mbak skrg ga bekerja dluar lg kah?

      Delete

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...