Pada postingan kali ini aku mau
share tentang karir bermukim. Enggak, ini bukan artikel kuliah, judulnya
terlalu serius (?)
pict taken from here
Seorang teman saat kuliah S1
sempat mengambil tema mengenai housing career atau karir bermukim. Apa itu?
Setangkapku, karir bermukim itu tentang perjalanan bermukim seseorang di setiap
fase kehidupannya. Temanku mengambil judul tentang karir bermukim para migran
yang tinggal di tepian salah satu sungai di Kota Yogyakarta. Sementara hal yang
akan aku bahas kali ini adalah karir bermukim manusia pada umumnya, katakanlah
aku.
Dulu, saat kuliah kerja perencaan
(KKP) di Singapura tahun 2011, aku dan teman-teman angkatanku sempat
mengunjungi HDB (Housing Development Board) semacam kantor atau badan yang
mengurusi tentang permukiman dan penyediaan perumahan bagi masyarakat di
Singapura. Dari penjelasan seorang perwakilan dari HDB diperoleh bahwa di
Singapura dibedakan penyediaan perumahannya. FYI, di Singapura tanah dikuasai
oleh negara. Cuma orang-orang tajir melintir aja yang mampu beli tanah di
Singapura. Secara luasan kota Singapura tidak terlalu besar. Sehingga
pembangunan permukiman difokuskan pada vertikal building development.
Perbedaan penyediaan perumahan di
Singapura dibagi menjadi beberapa golongan yakni bagi yang masih
single/unmarried, married without children, married with children dan orang tua
yang anak-anaknya sudah besar dan sudah tidak tinggal lagi bersama mereka
(elder people). Perbedaan status pernikahan ini mempengaruhi pada rumah yang
ditawarkan, meskipun dari masing-masing kelompok ini juga akan dibedakan lagi
berdasarkan fasilitas dan harga rumahnya.
Dari pelayanan yang ditawarkan
pemerintah, merupakan sebuah keadilan yang diharapkan bsia menjangkau seluruh
masyarakat Singapura dengan berbagai golongan ekonominya. Mereka terjamin dari
segi tempat tinggal.
Hal ini berbeda sekali dengan di
Indonesia. Dimana lahan atau tanah dikuasai oleh perseorangan, swasta dan
sangat sedikit sekali yang dikuasai pemerintah.
Kondisi ini membuat penyediaan
rumah bagi masyarakat menjadi tidak merata. Hubungannya dengan karir bermukim
apa? Seperti kita tahu, di Indonesia fase kehidupan manusia juga sama seperti
di Singapura. Hanya saja, menurutku pengendalian pembangunan perumahan belum
diawasi.
Seperti ini penjeasannya,
ketersediaan lahan yang dimiliki oleh perseorangan atau swasta lebih banyak.
Hal ini mengakibatkan harga lahan dikendalikan oleh pasar. Say it, money run
the world. Pengembang-pengembang besar menguasai lahan-lahan milik perseorangan
bahkan yang mulanya adalah lahan pertanian. Kemudian dibangun menjadi
apartemen, perumahan mewah dengan fasilitas berskala internasional yang
pastinya butuh lahan yang ga sempit.
Hubungan dengan karir bermukim,
buat newlywed kaya saya dan para pasangan muda dengan anak yang notabene sedang
merintis rumah tangga dan berusaha nabung buat bisa beli rumah atau mencari
rumah adalah kondisi yang insecure. Dengan kondisi perekonomian yang masih
labil, tinggal di kawasan jabodetabek *kota besar* mencari rumah dengan standar
pendapatan bulanan yang mencukupi sulit. Sulit nyari harga yang pas, ada yang
pas pun jaraknya bisa berkilo-kilo dari tempat kerja. Ya rumah murah tapi biaya
transport sehari-hari dan tenaga yang dikeluarkan menjadi harga yang tak
terlihat. Ujungnya jadi macet karena masyarakat memilih menggunakan kendaraan
pribadi karena jarak jauh dari rumah, atau kecelakaan transportasi umum karena
kelebihan muatan. Kerusakan lingkungan, banjir dan sebagainya.
Andaikan lahan-lahan yang
dibangun menjadi kawaan-kawasan elit tersebut, jika buat mereka bisa buat 100
unit rumah, jika dibangun buat masyarakat menengah ke bawah bisa buat bikin
1000 unit kali lengkap sama tempat ibadah, lapangan bola, sekolah sama pasar.
ilustrasi aja
taken from here
Sesungguhnya jika pemerintah
memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, ga ada yang namanya
rumah-rumah ilegal, rumah-rumah tidak layak huni.
Sesungguhnya jika pemerintah
memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, setiap masyarakat per
status pernikahan dan status ekonomi dapat memiliki rumah sesuai kebutuhan dan
kemampuan mereka.
Sesungguhnya jika pemerintah
memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, tidak akan ada yang namanya
kerusakan lingkungan yang sampe saat ini susah banget menyelesaikannya.
Di Indonesia, ga semua
masyarakatnya kalangan jetzet yang mampu beli apartemen tante Feni Rose yang
harganya akan naik tiap hari senen. Ga semua punya leluhur yang punya serep emas
10 kilo. Ga semua punya nasib baik dan beruntung hingga bisa punya rejeki
banyak.
Mau gamau akhirnya
kawasan-kawasan ruang hijau dan pertanian dipaksa dibangun untuk memenuhi
kebutuhan rumah bagi masyarakat kelas menengah dan menengah kebawah.
Ini poin penting kenapa alih
fungsi lahan pertanian dan rung hijau susah dipertahankan. Demand akan
perumahan layak bagi masyarakat masih menjanjikan keuntungan bagi developer2
sedang.
Konsep zakat mungkin akan lebih
bermanfaat lagi kalo yang dizakatkan rumah wkwkwkwk *ngaco*.
Saat ini, hal yang bisa dilakukan
adalah tetap melakukan pembangunan wilayah dengan tetap mengendalikan
ruang-ruang yang berpotensi sebagai ruang hijau dan revitalisasi
kawasan-kawasan yang rusak. Ah pembicaraanku lebih tepat jadi diskusi tugas
kuliah, bukan jadi postingan selo di blogku. Hehehe
Salam,
Resti – i need a house -
No comments:
Post a Comment