April 4, 2016

Karir Bermukim

Pada postingan kali ini aku mau share tentang karir bermukim. Enggak, ini bukan artikel kuliah, judulnya terlalu serius (?)
pict taken from here


Seorang teman saat kuliah S1 sempat mengambil tema mengenai housing career atau karir bermukim. Apa itu? Setangkapku, karir bermukim itu tentang perjalanan bermukim seseorang di setiap fase kehidupannya. Temanku mengambil judul tentang karir bermukim para migran yang tinggal di tepian salah satu sungai di Kota Yogyakarta. Sementara hal yang akan aku bahas kali ini adalah karir bermukim manusia pada umumnya, katakanlah aku.

Dulu, saat kuliah kerja perencaan (KKP) di Singapura tahun 2011, aku dan teman-teman angkatanku sempat mengunjungi HDB (Housing Development Board) semacam kantor atau badan yang mengurusi tentang permukiman dan penyediaan perumahan bagi masyarakat di Singapura. Dari penjelasan seorang perwakilan dari HDB diperoleh bahwa di Singapura dibedakan penyediaan perumahannya. FYI, di Singapura tanah dikuasai oleh negara. Cuma orang-orang tajir melintir aja yang mampu beli tanah di Singapura. Secara luasan kota Singapura tidak terlalu besar. Sehingga pembangunan permukiman difokuskan pada vertikal building development.

Perbedaan penyediaan perumahan di Singapura dibagi menjadi beberapa golongan yakni bagi yang masih single/unmarried, married without children, married with children dan orang tua yang anak-anaknya sudah besar dan sudah tidak tinggal lagi bersama mereka (elder people). Perbedaan status pernikahan ini mempengaruhi pada rumah yang ditawarkan, meskipun dari masing-masing kelompok ini juga akan dibedakan lagi berdasarkan fasilitas dan harga rumahnya.

Dari pelayanan yang ditawarkan pemerintah, merupakan sebuah keadilan yang diharapkan bsia menjangkau seluruh masyarakat Singapura dengan berbagai golongan ekonominya. Mereka terjamin dari segi tempat tinggal.

Hal ini berbeda sekali dengan di Indonesia. Dimana lahan atau tanah dikuasai oleh perseorangan, swasta dan sangat sedikit sekali yang dikuasai pemerintah.

Kondisi ini membuat penyediaan rumah bagi masyarakat menjadi tidak merata. Hubungannya dengan karir bermukim apa? Seperti kita tahu, di Indonesia fase kehidupan manusia juga sama seperti di Singapura. Hanya saja, menurutku pengendalian pembangunan perumahan belum diawasi.

Seperti ini penjeasannya, ketersediaan lahan yang dimiliki oleh perseorangan atau swasta lebih banyak. Hal ini mengakibatkan harga lahan dikendalikan oleh pasar. Say it, money run the world. Pengembang-pengembang besar menguasai lahan-lahan milik perseorangan bahkan yang mulanya adalah lahan pertanian. Kemudian dibangun menjadi apartemen, perumahan mewah dengan fasilitas berskala internasional yang pastinya butuh lahan yang ga sempit.

Hubungan dengan karir bermukim, buat newlywed kaya saya dan para pasangan muda dengan anak yang notabene sedang merintis rumah tangga dan berusaha nabung buat bisa beli rumah atau mencari rumah adalah kondisi yang insecure. Dengan kondisi perekonomian yang masih labil, tinggal di kawasan jabodetabek *kota besar* mencari rumah dengan standar pendapatan bulanan yang mencukupi sulit. Sulit nyari harga yang pas, ada yang pas pun jaraknya bisa berkilo-kilo dari tempat kerja. Ya rumah murah tapi biaya transport sehari-hari dan tenaga yang dikeluarkan menjadi harga yang tak terlihat. Ujungnya jadi macet karena masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi karena jarak jauh dari rumah, atau kecelakaan transportasi umum karena kelebihan muatan. Kerusakan lingkungan, banjir dan sebagainya.

Andaikan lahan-lahan yang dibangun menjadi kawaan-kawasan elit tersebut, jika buat mereka bisa buat 100 unit rumah, jika dibangun buat masyarakat menengah ke bawah bisa buat bikin 1000 unit kali lengkap sama tempat ibadah, lapangan bola, sekolah sama pasar.

ilustrasi aja 
taken from here

Sesungguhnya jika pemerintah memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, ga ada yang namanya rumah-rumah ilegal, rumah-rumah tidak layak huni.
Sesungguhnya jika pemerintah memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, setiap masyarakat per status pernikahan dan status ekonomi dapat memiliki rumah sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka.

Sesungguhnya jika pemerintah memahami karir bermukim pada setiap fase hidup manusia, tidak akan ada yang namanya kerusakan lingkungan yang sampe saat ini susah banget menyelesaikannya.
Di Indonesia, ga semua masyarakatnya kalangan jetzet yang mampu beli apartemen tante Feni Rose yang harganya akan naik tiap hari senen. Ga semua punya leluhur yang punya serep emas 10 kilo. Ga semua punya nasib baik dan beruntung hingga bisa punya rejeki banyak.

Mau gamau akhirnya kawasan-kawasan ruang hijau dan pertanian dipaksa dibangun untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat kelas menengah dan menengah kebawah.
Ini poin penting kenapa alih fungsi lahan pertanian dan rung hijau susah dipertahankan. Demand akan perumahan layak bagi masyarakat masih menjanjikan keuntungan bagi developer2 sedang.

Konsep zakat mungkin akan lebih bermanfaat lagi kalo yang dizakatkan rumah wkwkwkwk *ngaco*.

Saat ini, hal yang bisa dilakukan adalah tetap melakukan pembangunan wilayah dengan tetap mengendalikan ruang-ruang yang berpotensi sebagai ruang hijau dan revitalisasi kawasan-kawasan yang rusak. Ah pembicaraanku lebih tepat jadi diskusi tugas kuliah, bukan jadi postingan selo di blogku. Hehehe

Salam,

Resti – i need a house - 

No comments:

Post a Comment

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...