Jadwal pemadaman listrik yang baru aku sadari berlangsung hari ini, sabtu pukul 9 pagi hingga 1 siang, cukup membuat aku menjadi seonggok tubuh perempuan muda yang tergeletak di kamar tanpa kejelasan.
Well, kenapa pemadaman kali ini tidak ada pengumuman dari bapak-bapak masjid pas subuh tadi? Biasanya habis subuh sekitar jam 6 an, jika ada kabar lelayu dan kabar-kabar lainnya maka akan diberitakan lewat toa.
Aku mengetahui pengumuman tersebut lewat akun twitter info jogja kalau tidak salah. Bagian Jogja utara pemadaman bergilir hari sabtu 22 juni 2013 pukul 9-13. Yang termasuk wilayah Jogja utara adalah wilayah tempat tinggalku saat ini. Pondok Dzalila. Tempat kos sekian belas perempuan muda yang cantik dan enerjik. Termasuk aku. Pastinya.
Aku menyadari pemadaman saat sedang asyik nulis materi blog, lalu laptop menunjukkan tanda-tanda akan habis baterai. Kemudian ku ambil charger laptop di atas kabinet dan kupasangkan. Aku tidak curiga apapun, hingga tiba-tiba notifikasi datang dari ujung bawah kanan layar laptop, yang memberi tahu daya baterai tinggal 20% aku dianjurkan untuk mencolokkan laptop ke stop kontak. Aku langsung curiga kenapa sudah aku colok sekian lama notif tersebut muncul. Aku nyalakan lampu tidur yang ada di bawah, mati. Aku mencoba menyalakan kipas angin, sama saja, mati. Ini pemadaman.
Dengan sedikit tdiak peduli aku melanjutkan mengetik dan mendengarkan lagu dari winamp. Sekian menit kemudian, notifikasi muncul di layar. Daya baterai tinggal 7%. Ahsudahlah. Aku close semua windows yang aku buka dan mematikan sambungan internet.
Aku meraih handphone yang masih terisi daya baterai sekitar 80% dan berselancar ke twitter hingga akhirnya menemukan pengumuman jahat tersebut.
Ingin rasanya ngungsi ke perpustakaan kampus untuk sekedar main-main dan nebeng ngecharge laptop. Aku berlari ke kamar mandi. Bak kosong. Menyalakan kran, mati. Iya mati lampu menghentikan segalanya. Mana mungkin aku dengan tampang seperti cucian kotor 3 hari datang ke perpus dengan pede nya dan nangkring di kerumunan teman-teman yang pastinya mereka sudah mandi dan mungkin menyadari bahwa hari ini pemadaman.
Bersungut-sungut aku kembali ke kamar, meraih novel dengan judul Garis Perempuan yang sedari beberapa malam menjadi teman tidurku dan belum sempat aku selesaikan hingga halaman 300.
Hidupku selo sekali hari ini. Aku ingin jalan-jalan. Hari ini sudah janjian sih, mau main ke Pasar Kangen di TBY bareng temen2. Tapi melihat kondisi langit yang penuh kejutan, aku tidak bisa memberi jaminan nanti pukul 4 sore tidak akan turun hujan badai seperti 2 hari yang lalu.
Aku kelaparan, aku mengambil chitato yang aku simpan di atas rak makanan dan menghabiskannya dalam tempo yang cepat. LAPAR.
Aku kemudian bergulung-gulung di lantai, sungguh tidak berguna. Sesekali aku menghela nafas panjang, memikirkan beberapa kejadian yang terjadi padaku beberapa waktu terakhir. Kejadian yang seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan dan kebanggaan, lama-kelamaan semakin kering dan renyah. Dia mungkin juga menyadari. Sadar sejak awal bahwa aku memiliki sensitivitas humor yang rendah. Meskipun sebenarnya aku adalah anak yang penuh kehumoran, mungkin stream humor kami berbeda. Aku makin bingung.
Kuhirup aroma kamarku, wangi perempuan muda yang lembut. Aroma pewangi seprei baru aku ganti dan beberapa aroma produk perawatan tubuh yang berada di atas rak buku. Aroma tersebut mengalahkan aroma pewangi ruangan yang bernuansa apel yang selalu aku gantung di depan kipas angin.
Wangi ini mengingatkanku untuk kesekian mimpi yang saat ini sedang aku bangun perlahan. Mimpi yang semestinya menjadi tujuan utama mengapa aku memilih menjadi seperti ini.
angi ini memiliki sejuta rahasia. mengantarkanku pada sebuah imajinasi liar tentang masa depan. Kemudian mataku mulai beralih ke beberapa tulisan penyemangat yang aku pasnag di pintu lemari pakaian yang menghadap dipanku. Beberapa tulisna yang mengisyaratkan bahwa aku mandiri yang teguh pada prinsip dan tidak akan patah semangat. Bendera jerman dan amerika yang aku pasang di pintu lemari bukan bukti aku tidak cinta Indonesia. Tapi itu adalah mimpi. Aku cinta Indonesia. Mungkin masih sebatas cinta dalam wujud KTP. Bahkan e-KTP pun aku belum jadi.
Aku kembali membaca novel tersebut, mengingatkan pada kepedihan cerita-cerita perempuan yang sering aku baca di majalah bahkan di film yang sengaja dibuat untuk perempuan. Sebagai perempuan, sebagaimanapun pendidikanmu, tempatmu adalah rumah. Rumah adalah istana dimana seorang perempuan akan mengambil alih komando saat suami bekerja. Bekerja pun harus dengan seijin suami. Meskipun tujuan bekerja bukan hanya sebagai penyokong ekonomi keluarga, bekerja hanya untuk perlambang bahwa perempuan tidak hanya bergantung pada laki-lakipun harus disetujui suami.
Pikiranku melayang. Menjadi perempuan kian susah saat menginjak usia seperti saat ini. Terngiang obrolan teman kos saat dia berdialog dengan temannya 'Tuh kan, jadi cewek tuh ribet." Iya ribet. Mikirnya banyak. Terlebih jika seorang perempuan terbiasa bertindak menggunakan logika, maka untuk menyelesaikan masalah hidupnya daia akn bimbang, logika atau perasaan. Cinta layaknya dihadapi dnegan perasaan, meskipun logika juga harus jalan. Tetapi cinta yang berlandaskan logika tak ubahnya sebuah perjanjian Indonesia dan Belanda di meja bundar di tahun 40an silam.
Aku memilih menjalani perlahan. Mneghitung hari dan tetap menjadi diriku sendiri, Aku tidak mau hanya karena dia, aku harus berubah 180 derajat dan bukan menjadi diri sendiri. Aku adalah perempuan yang sabtu siang ini melakukan muspro luar biasa terhadap waktu-waktuku.
Sabtu siang ini biarlah menjadi refleksi ketakutan ku akan posisi sebagai perempuan yang seharusnya. Biarlah hikmah yang kuambil untuk pemadaman listrik kali ini bukan pemecahan menyelesaikan revisi skripsiku. Tapi perasaan ini masih berkecamuk.
Langit mendung, cerahlah sebentar saja, biarlah aku kembali meyakini bahwa matahri akan tetap bersinar hari ini.
No comments:
Post a Comment