Sore ini terlalu singkat jika aku jelaskan selesai pulang seminar dan makan siang aku melemparkan tubuhku ke dipan kosku setinggi 15 cm dari lantai.
Iya sih, aku pulang, perasaanku lagi campur aduk banget, karena dpt mention di Path oleh dosen penguji. Ah yasudahlah.
Tanpa berganti pakaian aku tenggelam dalam bantal-bantal dan merasuk ke dunia mimpi.
Beberapa saat kemudian tanganku meraih-raih ponselku yang ternyata di bawah leherku sendiri. Mengecek notifikasi di layar bagian paling atas apakah ada Whatsapp masuk atau kah tidak.
Lalu aku lanjutkan tidur lagi. Hingga 1 jam mungkin aku dengar suara air hujan menghambur luar biasa di luar jendela kamarku. Aku rasa ada badai. Dengan langkah gontai aku berjalan keluar. Melihat deretan sepatuku yang sengaja aku susun di samping pintu kamarku basah semua. Terutama sepatu H&W yang aku beli di Koln setaun lalu. Sayang kulitnya. Ah. Sepatu-sepatu cantikku basah.
Aku mengangkat rak sepatuku menjauh dan kuletakkan di samping jemuran komunal. Lalu aku kembali masuk kekamar. Masih melihat jam tangan yang belum sempat aku lepas, aku mengirim sebuah pesan via whatsapp. Lalu aku masuk ke menu di ponselku dan melihat deretan berita di lini masa twitter. Perasaanku masih tidak karuan. Hujan semakin kencang dan deras. Beberapa teman memberitakan beserta gambar di luar sana. Akhir-akhir ini Jogjakarta sedang akrab dnegan hujan badai. Aku bukan tak suka, tapi hujan membuat aku sedikit kacau. Hujan menemani perasaan setiap orang yang tak bisa berbuat apa-apa seperti aku sekarang.
Hujan.
Kiriman air dari Tuhan yang tak perlu kita membelinya. Kita hanya bisa menatap langit dan berkata terimakasih Tuhan atas limpahanMu.
Dengan sedikit terpaksa aku mengganti jeans dan kemejaku siang ini dnegan celana pendek dan kaos yang dari tadi pagi aku lempar diatas kasur. Saat tidur tadi mereka tertimpa badanku. Kucium, masih wangi. Wangi laundry langgananku yang aku rela menunggu 2 hari supaya pakaian2 ini kering semua dan bisa dipakai. Kebiasaanku saat musim hujan adalah aku malas mencuci. Aku bilang percuma nyuci pas hujan. Sering lupa ada jemuran dan tentu saja malas bersentuhan dnegan air.
Aku menatap laptopku di atas meja. Aku meyalakannya dan mulai mengklik internet. Tak lama internet tersambung, aku membuka email. Ada sedikit rasa menyesal menolak tawaran magang di suatu lembaga yang aku sudah inginkan sejak dulu. Aku harus datang ke Jakarta tanggal 25. Aku UAS. Aku tak bisa. Lagipula kenapa harus Jakarta?
Aku mulai membaca berita di situs web koran nasional. Masih soal ekspor impor daging sapi dan tentu saja BBM. Kepala ini masih berputar, merefresh memory terakhir yang tersimpan. Yaitu materi smeinar siang tadi.
Hujan kali ini deras sangat deras. Tak lama mereda. Tapi tak seperti perasaanku. Semakin aku berselancar di dunia maya aku semakin tak menentu. pikiranku belum menetap di tempat yang semestinya.
Pikiran ini melayang jauh, melesat hujan ke sebuah tempat yang mungkin aku pun tak tau harus berbuat apa.
Terkadang, aku berpikir sepandir apakah diri ini? Mengapa aku tidak pernah bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan? Mengapa aku harus terjebak dalam sebuah situasi yang kadang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya,meskipun pernah suatu ketika aku memintanya?
Berulang aku meminta ampun pada Tuhan.
Dosa ini hanya perbuatan manusia, aku. Sore ini mungkin bukan hanya langit yang bermuram durja. Tapi wajahku juga. Harusnya tidak seperti ini. Tadi pagi aku sangat bersemangat. Berkali-kali aku tersenyum lebar di cermin yang tergantung setinggi tubuhku di samping meja belajarku.
Hujan,
Bila hati ini merasa tak nyaman saat aku bangun karena mendengar suaramu, Would You Like To Fix It?
No comments:
Post a Comment