December 4, 2013

Jogja ora didol

Siapa sangka, sebuah kota bisa menjadi barang yang bisa diperjualbelikan. 
JOGJA ORA DIDOL
Sebuah statement yang hadir di kalangan masyarakat Yogyakarta beberapa waktu lalu, sebagai respon kebijakan walikota baru Pak Haryadi Suyuti. Tulisan tersebut muncul dengar dengar dari sebuah mural di sebuah tembok yang ditulis oleh pemuda yang masih berstatus siswa sekolah menengah tersebut *idktt*.

Statement tersebut langsung bergulir layaknya bola saju yang meluncur dari lereng menggelinding dengan lihai di lini masa twitter. Bahkan sempat menjadi trending topic di beberapa kalangan. Munculnya statement ini bukan muncul begitu saja. Tapi, didasari oleh realita yang terjadi. Merebaknya pemborong-pemborong skala besar di kota Yogyakarta seperti Ciputra, Bakrie Land dan sebagainya telah menguasai lahan-lahan vital di bebeapa titik di kota Yogyakarta. Belum lagi langkah pemborong2 kecil yang mulai menggenggam lahan-lahan pertanian untuk dibangun perumahan.

Perijinan yang begitu mudah dan tanpa mempertimbangkan dokumen2 perencanaan, bukan saja menyulut komentar2 pedas dari masyarakat awam, tetapi juga seniman dan tentu saja akademisi. Jika orang awam sampai 'gerah' kenapa yang tahu hanya diam saja?

Beberapa waktu lalu, iseng saja naik bus kota tiruan BRT Bogota yaitu Trans Jogja, sempat kaget saat melintasi jalan Solo. sedang ada proyek pembangunan Malioboro City. Sepertinya akan segera dibangun kawasan hunian. Saat itu kebetulan sedang marak dibangun hotel-hotel berbintang di Yogyakarta. Pembangunan Malioboro City entah tujuannya apa. Beberapa waktu kemudian muncul berita-berita tentang pembangunan mall-mall yang siap bangun di beberapa titik. 

Kekagetan tersebut semakin membuat kondisi sedikit panas, terlebih saat itu bapak walikota sempet 'ngilang' dari peredaran. Tidak ada respon tentang ijin pembangunan beberapa gedung-gedung mewah tersebut. 

Kekagetan semakin meningkat levelnya, manakala tadi pagi seorang teman mengirimkan pesan lewat WA yang diambil dari kompas dot com http://properti.kompas.com/index.php/read/2013/12/03/2020148/Seru.Perang.Pusat.Belanja.di.Yogyakarta.

Serem, kalo boleh aku bilang. Yogyakarta akan diserbu pusat perbelanjaan kelas atas. Hai, berapa persen sih masyarakat kota Jogja yang termasuk kelas atas? 
Memangnya kelas atas akan selalu menghabiskan uangnya di tempat-tempat tersebut? 
Bagaimana nasib kami, orang-orang dengan status pelajar dan mahasiswa, yang sengaja datang kemari untuk merasakan aroma kota pelajar, tapi kami hanya disuguhi landmark-landmark yang sama sekali tidak bermuatan pendidikan di dalamnya? 
Bagaimana nasib kami, para turis lokal yang menyebut jogja sebagai salah satu destinasi liburan yang 'ngangeni' karena kenyamanan, keramahan serta kesederhanaan, bila penampilannya sama saja seperti kota-kota stres layaknya Jakarta? 

Sebagai pendatang, aku hanya bisa berharap, kota ini tidak akan pernah berubah menjadi seperti kota yang lain. Kota ini akan tetap sama, menarik, unik dan penuh kenangan. 
Biarkan jogja tetap begini. Berubahlah untuk menjadi lebih baik. Bukan harus mengikuti arus globalisasi jaman. Orang-orang di luar sana butuh Jogja karena Jogja tidak sama. Orang-orang di luar sana kangen Jogja karena Jogja sederhana. Orang-orang diluar sana menghormati Jogja karena kesantunannya. 

Aku harap, Jogja ora didol kepada siapapun sampai kapanpun.








No comments:

Post a Comment

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...