December 30, 2013

Tamu Baru di tahun 2014



Tulisan ini bukan tulisan menolak atau menerima pembangunan mall yang sudah terlanjur, tulisan ini hanya pemikiran dan perasaan penulis. Bukan sebuah media provokasi untuk menyudutkan pemerintah atau mengutuki investor, tetapi ajakan untuk mengawal perkembangan pembangunan yang mungkin bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Penulis tidak munafik jika nanti mall-mall tersebut sudah jadi penulis menolak untuk mendatangi mall. Yang pasti, penulis melalui tulisan ini mengajak masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya baik masyarakat lokal maupun pendatang yang menetap dalam waktu lama untuk peduli dengan kondisi di sekitar. Jangan sampai hal-hal macam ini bisa kecolongan lagi.

Berkali-kali aku mengikuti diskusi tentang pembangunan mall serta dampak bagi keistimewaan Yogyakarta. Tak perlu ragu lagi, aku bahkan ikut nebeng bincang dengar dengan sebuah komunitas yang aktif aku ikuti setahun lalu dengan Bappeda Sleman tentang pembangunan mall-mall tersebut. Mungkin beberapa orang yang sudah baca rilis di www.pemudatataruang.org sudah tahu, jika pembangunan mall tersebut adalah bentuk kealpaan pemerintah. Seperti bermain sepakbola, pemerintah sleman merasa kecolongan 5 goal di gawangnya. Bukan karena apa-apa, hanya karena sebuah institusi pemerintah akan bekerja melalui peraturan, jadi jika peraturan terkait tidak ada, halal pembangunan mall tersebut dilakukan. Sah menurut hukum.

Sebagai mahasiswa Gadjah Mada yang sudah hampir akan 5 tahun lalu-lalang di Sleman dan sekitarnya, bukan aku sombong atau kemaki dengan pembangunan tersebut. Pertama kali aku membaca berita di situs surat kabar nasional bagian properti tentang isu pembangunan mall tersebut, aku gusar. Mungkin beberapa teman yang satu frekuensi denganku juga seperti itu. Padahal selama ini, salah satu tempat nongkrong yang kaunjungi juga mall.  Meskipun hanya window shopping, berandai-andai memiliki barang-barang yang di etalase beberapa mall yang sekarang sudah eksis pun bagiku sudah cukup. Aku tidak perlu memilikinya. Meet up dengan beberapa teman yang butuh suasana lain selain sekitar kampus, maka destinasi kami adalah mall. Mengantri loket film saat sebuah film sedang tayang dengan embel-embel box office, aku bela-belain datang ke mall dan ikut euphoria tersebut.

Beberapa pihak juga mengutuki pembangunan lima mall yang kelak akan menjadi dewa-dewa pengharapan beberapa masyarakat yang mungkin saat ini sedang mencari pekerjaan. Di sebuah jejaring sosial bikinan Zuckerberg yang memiliki nama akun Kota Yogyakarta, sekalinya isu pembangunan mall tersebut diluncurkan, sudah barang tentu menuai kritikan dan kecaman warga yogyakarta dan sekitarnya. Mereka mayoritas menolak pembangunan tersebut. Dengan berbagai alasan yang menurutku romantis dan picisan. Yogyakarta memang layak mendapat perhatian seperti itu. Aku mengakuinya.

Suatu kali, setelah aku ikut audiensi bappeda tersebut, aku mengikuti diskusi publik yang komunitasku adakan. Diskusi tersebut melibatkan teman-teman yang juga asli yogyakarta serta pendatang seperti aku. Beberapa teman ada yang sepaham denganku, secara idealis kami menolak pembangunan mall. Meskipun aku yakin, mereka juga sering nongki-nongki di mall, walau Cuma beli eskrim 5ribuan. Tetapi di sisi lain, ada juga yang setuju. Mendukung pembangunan mall dengan beragam alasan yang juga masuk akal.

Teman asli yogyakarta yang tidak setuju menyatakan “Mall kan itu konsumtif, ga sesuai dengan kebiasaan masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta masih suka belanja ke Pasar-pasar tradisional. Mall kan hadir salah satunya buat mewadahi pendatang-pendatang terutama yang berasal dari kota besar yang kesehariannya melihat banyak mall.”

Ada juga yang komen “Wah malah bagus. Kalo mall dibangun terus sebelahnya ada apartemen bukannya kompak banget? Orang yang tinggal di apartemen ga perlu jauh-jauh belanja ke mall yang jaraknya jauh dari apartemennya. Bisa mereduksi perjalanan dan mengurangi macet.”

Kemudian temanku yang entah dia di kubu apa berkomentar (kurang lebih isinya) “Ya masa kita mau ngelarang orang dateng ke mall? Lagian, kalo alasannya kehadiran 5 mall tersebut karena Yogyakarta kota budaya nanti budayanya akan hilang, seberapa tau sih kita tentang budaya? Ngerti emang kita tentang budaya?”

Di dalam hati saat itu aku ngakak, iya, ngerti apa sih aku tentang budaya, sok-sokan bilang nanti budaya bakal ilang. Orang awam kaya aku, mana ngerti sih tentang budaya? Budaya yang gimana yang kita tahu?

Ingat juga komen seorang dosen “Apa mungkin untuk ttp mempertahankan budaya Yogyakarta nya biar tetap terasa pintu masuk mallnya dibikin kaya Joglo gtu dibuat ukir-ukiran? Terus pegawainya pake surjan dan kebaya?”

Memunculkan kekhasan Yogyakarta di mall mungkin maksudnya supaya tetep kerasa Yogyakarta adalah kota yang masih nguri-uri kebudayaan Jawa.



Pembangunan akan selalu menghasilkan dualisme respon masyarakat yang pro serta kontra. Pada awalnya aku kontra, kentara sekali dengan berbagai postingan link di jejaring sosial bahkan blog di beberapa tulisan lalu ttg penentangan mall secara frontal. Saat itu aku masih belum tahu posisi pembangunan tersebut masih berupa wacana atau masih gosip saja, maklum kan tahun politik di depan mata, mungkin aja ada kepentingan politik, sedikit curiga.


Setelah ikut audiensi, aku baru tahu dimana posisi pembangunan tersebut sekarang. Sudah ada persetujuan dari daerah, masyarakat sekitar sudah teken kontrak, media sudah memberitakan berita tersebut dengan yakin. Nasi sudah jadi bubur. Sebelum mall-mall tersebut benar-benar berdiri dan beroperasi, mungkin ini adalah saatnya kita yang ikut ngomong supaya kahadiran mereka yang diawalnya udah bikin kontra selanjutnya ga jadi masalah. Misal, masalah parkir. Pak Dona bagian perkotaan Bappeda Sleman mengatakan bahwa sebagai langkah antisipasi, pihaknya telah mengeluarkan peraturan tentang perparkiran. Bahwa setiap mall yang akan beroperasi harus menyediakan sirkulasi parkir di dalam, bukan di jalan sehingga tidak menimbulkan kemacetan. Mungkin ada saran lainnya?

Iklim investasi di Yogyakarta mungkin sedang baik. Para investor yang berkantong tebal itu sudah memikirkan untung rugi. Pak Kemal, GM UN-Habitat Indonesia dalam diskusinya tadi malam beropini bahwa pasti investor-investor tersebut bertaruh banyak uang dengan gambling seperti ini. Mereka ga akan mungkin berani mendirikan mall-mall yang berkelas tersebut apalagi dengan embel-embel terbesar di Jawa Tengah dan DIY, tanpa memikirkan untung ruginya. Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata, kota pendidikan dan serentetan gelar lainnya merupakan magnet yang bisa menarik orang-orang masuk.

Investor dalam hal ini bukan hanya sekelompok orang yang berduit banyak yang asal ada tanah kosong bangun. Mereka pasti sudah melakukan survey pasar terkait lokasi-lokasi mereka akan membangun mall nya. 5 mall yang akan dibangun ini berada dibawah naungan tangan-tangan investor yang berbeda. Kelimanya adalah investor yang sudah punya nama di medan persaingan properti Indonesia.  

Kita mungkin bisa meramalkan mall mana saja yang bakalan collapse duluan. Seperti Saphire salah satu mall Yogyakarta yang collapse duluan dibanding 3 mall lainnya. Usut punya usut, cerita punya cerita, faktor lokasi dan barang dagangan di Saphire lah yang menyebabkan dia tidak bisa bertahan dalam persaingan perebutan konsumen pasar. Lokasinya yang berada di tengah antara anchor Galeria dan Ambarukmo Plaza merupakan faktor lokasi yang tidak selaras dengan naluri perilaku manusia. Secara alamiah manusia berjalan menuju sebuah destinasi, terdapat kecenderungan sebuah lokasi yang berada di ujung memiliki pengaruh besar bagi manusia dibanding lokasi yang berada di tengah.

Melihat desain-desain futuristik, brand-brand luar yang akan masuk ke mall-mall baru ini aku belum bisa meraba, mana mall yang akan bangkrut duluan. Saat ini saja Yogyakarta City Mall yang berlokasi di Jalan Magelang sudah membuka Matahari  serta Hypermart untuk pengunjung. Padahal mall tersebut masih underconstruction. Apa ini salah satu strategi mereka untuk mencuri start, melihat lawan-lawan lainnya masih dalam tahap awal?

Kejadian ini harus menjadi tamparan sekaligus pembelajaran yang harus diawasi ketat terutama oleh masyarakat Yogyakarta sendiri. Sikap nerimo yang sudah menjadi ciri khas masyarakat lokal sebaiknya harus dikondisikan. Nerimo bukan harus dilakukan untuk sebuah kejadian yang seperti ini. Oke kita nerimo, tapi mesti juga memberi pengawasan. Tidak mau kan, Yogyakarta menjadi Jakarta ke dua? Peringatan macet dan banjir sudah ada di depan mata. Sebelum benar-benar menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, mari mencoba perlahan menahan arus. Mencoba menggalang kekuatan bukan untuk menentang pemerintah, bukan untuk merusak mall yang dibangun investor, tapi mengawal perkembangannya. Menjadi masyarakat yang cerdas dan tanggap bencana dimulai dari sekarang, sebelum hal-hal buruk terjadi.

Sisi lain, bersyukurlah dengan adanya pembangunan mall-mall ini. Pembangunan yang melibatkan banyak tenaga bangunan dan kelak pegawai mall sudah mengurangi jumlah penganggur di Yogyakarta. Nah, mungkin bisa jadi satu usulan buat investor yang bisa dilayangkan oleh pemerintah, bahwa pegawai mall-mall baru harus merupakan warga D.I Yogyakarta. Bukan pegawai bawaan dari daerah lain. Salah satu cara mengurangi migrasi penduduk masuk, mengingat Yogyakarta sudah padat dan bisa jadi hal positif yang bisa dirasakan masyarakat Yogyakarta.



Mari sambut kelima tamu di 2014 dengan mengawasi mereka supaya tetap bersahabat dengan bumi Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...