Tulisan ini bukan tulisan menolak
atau menerima pembangunan mall yang sudah terlanjur, tulisan ini hanya
pemikiran dan perasaan penulis. Bukan sebuah media provokasi untuk menyudutkan
pemerintah atau mengutuki investor, tetapi ajakan untuk mengawal perkembangan
pembangunan yang mungkin bisa menimbulkan masalah-masalah baru. Penulis tidak
munafik jika nanti mall-mall tersebut sudah jadi penulis menolak untuk
mendatangi mall. Yang pasti, penulis melalui tulisan ini mengajak masyarakat Yogyakarta
dan sekitarnya baik masyarakat lokal maupun pendatang yang menetap dalam waktu
lama untuk peduli dengan kondisi di sekitar. Jangan sampai hal-hal macam ini
bisa kecolongan lagi.
Berkali-kali aku mengikuti
diskusi tentang pembangunan mall serta dampak bagi keistimewaan Yogyakarta. Tak
perlu ragu lagi, aku bahkan ikut nebeng bincang dengar dengan sebuah komunitas
yang aktif aku ikuti setahun lalu dengan Bappeda Sleman tentang pembangunan
mall-mall tersebut. Mungkin beberapa orang yang sudah baca rilis di www.pemudatataruang.org sudah tahu,
jika pembangunan mall tersebut adalah bentuk kealpaan pemerintah. Seperti
bermain sepakbola, pemerintah sleman merasa kecolongan 5 goal di gawangnya.
Bukan karena apa-apa, hanya karena sebuah institusi pemerintah akan bekerja
melalui peraturan, jadi jika peraturan terkait tidak ada, halal pembangunan
mall tersebut dilakukan. Sah menurut hukum.
Sebagai mahasiswa Gadjah Mada
yang sudah hampir akan 5 tahun lalu-lalang di Sleman dan sekitarnya, bukan aku
sombong atau kemaki dengan pembangunan tersebut. Pertama kali aku membaca
berita di situs surat kabar nasional bagian properti tentang isu pembangunan
mall tersebut, aku gusar. Mungkin beberapa teman yang satu frekuensi denganku
juga seperti itu. Padahal selama ini, salah satu tempat nongkrong yang
kaunjungi juga mall. Meskipun hanya
window shopping, berandai-andai memiliki barang-barang yang di etalase beberapa
mall yang sekarang sudah eksis pun bagiku sudah cukup. Aku tidak perlu memilikinya.
Meet up dengan beberapa teman yang butuh suasana lain selain sekitar kampus,
maka destinasi kami adalah mall. Mengantri loket film saat sebuah film sedang
tayang dengan embel-embel box office, aku bela-belain datang ke mall dan ikut
euphoria tersebut.
Beberapa pihak juga mengutuki
pembangunan lima mall yang kelak akan menjadi dewa-dewa pengharapan beberapa
masyarakat yang mungkin saat ini sedang mencari pekerjaan. Di sebuah jejaring
sosial bikinan Zuckerberg yang memiliki nama akun Kota Yogyakarta, sekalinya
isu pembangunan mall tersebut diluncurkan, sudah barang tentu menuai kritikan
dan kecaman warga yogyakarta dan sekitarnya. Mereka mayoritas menolak
pembangunan tersebut. Dengan berbagai alasan yang menurutku romantis dan
picisan. Yogyakarta memang layak mendapat perhatian seperti itu. Aku
mengakuinya.
Suatu kali, setelah aku ikut
audiensi bappeda tersebut, aku mengikuti diskusi publik yang komunitasku adakan.
Diskusi tersebut melibatkan teman-teman yang juga asli yogyakarta serta
pendatang seperti aku. Beberapa teman ada yang sepaham denganku, secara idealis
kami menolak pembangunan mall. Meskipun aku yakin, mereka juga sering nongki-nongki
di mall, walau Cuma beli eskrim 5ribuan. Tetapi di sisi lain, ada juga yang
setuju. Mendukung pembangunan mall dengan beragam alasan yang juga masuk akal.
Teman asli yogyakarta yang tidak
setuju menyatakan “Mall kan itu konsumtif, ga sesuai dengan kebiasaan
masyarakat Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta masih suka belanja ke Pasar-pasar
tradisional. Mall kan hadir salah satunya buat mewadahi pendatang-pendatang
terutama yang berasal dari kota besar yang kesehariannya melihat banyak mall.”
Ada juga yang komen “Wah malah
bagus. Kalo mall dibangun terus sebelahnya ada apartemen bukannya kompak
banget? Orang yang tinggal di apartemen ga perlu jauh-jauh belanja ke mall yang
jaraknya jauh dari apartemennya. Bisa mereduksi perjalanan dan mengurangi
macet.”
Kemudian temanku yang entah dia
di kubu apa berkomentar (kurang lebih isinya) “Ya masa kita mau ngelarang orang
dateng ke mall? Lagian, kalo alasannya kehadiran 5 mall tersebut karena Yogyakarta
kota budaya nanti budayanya akan hilang, seberapa tau sih kita tentang budaya?
Ngerti emang kita tentang budaya?”
Di dalam hati saat itu aku
ngakak, iya, ngerti apa sih aku tentang budaya, sok-sokan bilang nanti budaya
bakal ilang. Orang awam kaya aku, mana ngerti sih tentang budaya? Budaya yang
gimana yang kita tahu?
Ingat juga komen seorang dosen
“Apa mungkin untuk ttp mempertahankan budaya Yogyakarta nya biar tetap terasa
pintu masuk mallnya dibikin kaya Joglo gtu dibuat ukir-ukiran? Terus pegawainya
pake surjan dan kebaya?”
Memunculkan kekhasan Yogyakarta
di mall mungkin maksudnya supaya tetep kerasa Yogyakarta adalah kota yang masih
nguri-uri kebudayaan Jawa.
Pembangunan akan selalu
menghasilkan dualisme respon masyarakat yang pro serta kontra. Pada awalnya aku
kontra, kentara sekali dengan berbagai postingan link di jejaring sosial bahkan
blog di beberapa tulisan lalu ttg penentangan mall secara frontal. Saat itu aku
masih belum tahu posisi pembangunan tersebut masih berupa wacana atau masih
gosip saja, maklum kan tahun politik di depan mata, mungkin aja ada kepentingan
politik, sedikit curiga.
Setelah ikut audiensi, aku baru
tahu dimana posisi pembangunan tersebut sekarang. Sudah ada persetujuan dari
daerah, masyarakat sekitar sudah teken kontrak, media sudah memberitakan berita
tersebut dengan yakin. Nasi sudah jadi bubur. Sebelum mall-mall tersebut
benar-benar berdiri dan beroperasi, mungkin ini adalah saatnya kita yang ikut
ngomong supaya kahadiran mereka yang diawalnya udah bikin kontra selanjutnya ga
jadi masalah. Misal, masalah parkir. Pak Dona bagian perkotaan Bappeda Sleman
mengatakan bahwa sebagai langkah antisipasi, pihaknya telah mengeluarkan
peraturan tentang perparkiran. Bahwa setiap mall yang akan beroperasi harus
menyediakan sirkulasi parkir di dalam, bukan di jalan sehingga tidak
menimbulkan kemacetan. Mungkin ada saran lainnya?
Iklim investasi di Yogyakarta
mungkin sedang baik. Para investor yang berkantong tebal itu sudah memikirkan
untung rugi. Pak Kemal, GM UN-Habitat Indonesia dalam diskusinya tadi malam
beropini bahwa pasti investor-investor tersebut bertaruh banyak uang dengan
gambling seperti ini. Mereka ga akan mungkin berani mendirikan mall-mall yang
berkelas tersebut apalagi dengan embel-embel terbesar di Jawa Tengah dan DIY,
tanpa memikirkan untung ruginya. Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata, kota
pendidikan dan serentetan gelar lainnya merupakan magnet yang bisa menarik
orang-orang masuk.
Investor dalam hal ini bukan
hanya sekelompok orang yang berduit banyak yang asal ada tanah kosong bangun.
Mereka pasti sudah melakukan survey pasar terkait lokasi-lokasi mereka akan
membangun mall nya. 5 mall yang akan dibangun ini berada dibawah naungan
tangan-tangan investor yang berbeda. Kelimanya adalah investor yang sudah punya
nama di medan persaingan properti Indonesia.
Kita mungkin bisa meramalkan mall
mana saja yang bakalan collapse duluan. Seperti Saphire salah satu mall Yogyakarta
yang collapse duluan dibanding 3 mall lainnya. Usut punya usut, cerita punya
cerita, faktor lokasi dan barang dagangan di Saphire lah yang menyebabkan dia
tidak bisa bertahan dalam persaingan perebutan konsumen pasar. Lokasinya yang
berada di tengah antara anchor Galeria dan Ambarukmo Plaza merupakan faktor
lokasi yang tidak selaras dengan naluri perilaku manusia. Secara alamiah
manusia berjalan menuju sebuah destinasi, terdapat kecenderungan sebuah lokasi
yang berada di ujung memiliki pengaruh besar bagi manusia dibanding lokasi yang
berada di tengah.
Melihat desain-desain futuristik,
brand-brand luar yang akan masuk ke mall-mall baru ini aku belum bisa meraba,
mana mall yang akan bangkrut duluan. Saat ini saja Yogyakarta City Mall yang
berlokasi di Jalan Magelang sudah membuka Matahari serta Hypermart untuk pengunjung. Padahal
mall tersebut masih underconstruction. Apa ini salah satu strategi mereka untuk
mencuri start, melihat lawan-lawan lainnya masih dalam tahap awal?
Kejadian ini harus menjadi
tamparan sekaligus pembelajaran yang harus diawasi ketat terutama oleh
masyarakat Yogyakarta sendiri. Sikap nerimo yang sudah menjadi ciri khas
masyarakat lokal sebaiknya harus dikondisikan. Nerimo bukan harus dilakukan
untuk sebuah kejadian yang seperti ini. Oke kita nerimo, tapi mesti juga
memberi pengawasan. Tidak mau kan, Yogyakarta menjadi Jakarta ke dua?
Peringatan macet dan banjir sudah ada di depan mata. Sebelum benar-benar
menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, mari mencoba perlahan menahan arus.
Mencoba menggalang kekuatan bukan untuk menentang pemerintah, bukan untuk
merusak mall yang dibangun investor, tapi mengawal perkembangannya. Menjadi
masyarakat yang cerdas dan tanggap bencana dimulai dari sekarang, sebelum
hal-hal buruk terjadi.
Sisi lain, bersyukurlah dengan
adanya pembangunan mall-mall ini. Pembangunan yang melibatkan banyak tenaga
bangunan dan kelak pegawai mall sudah mengurangi jumlah penganggur di
Yogyakarta. Nah, mungkin bisa jadi satu usulan buat investor yang bisa
dilayangkan oleh pemerintah, bahwa pegawai mall-mall baru harus merupakan warga
D.I Yogyakarta. Bukan pegawai bawaan dari daerah lain. Salah satu cara
mengurangi migrasi penduduk masuk, mengingat Yogyakarta sudah padat dan bisa
jadi hal positif yang bisa dirasakan masyarakat Yogyakarta.
Mari sambut kelima tamu di 2014
dengan mengawasi mereka supaya tetap bersahabat dengan bumi Yogyakarta.