Hari ini aku nonton 2 film
indonesia yang menurut aku berkualitas. Engga nonton di bioskop juga, nontonnya
di leptop. Nemu di hardisk. Ternyata pernah juga ngopy film ini dr file teman. Kedua
film tersebut adalah Jamila dan Sang Pesiden serta Alangkah Lucunya (negeri
ini). Kedua film tersebut dengar2 sempat mendapat penghargaan entah apa aku
kurang paham. Dulu sempat ingin nonton film tersebut tapi karena film
indonesia, lagi-lagi aku meletakkan posisinya di urutan paling bawah film yang
bakal aku tonton. Ya benar saja, tadi sore habis pulang bimbingan rasanya aku
pengen nonton film. Yang tersisadan belum kutonton salah duanya ya film
tersebut.
Kedua film ini adalah film
indonesia yang aku bilang keren begete. Jauh dari film setan-setan yang ganjen,
film-film komedi porno dan film-film cinta picisan yang isinya rebutan
laki-laki. Film ini benar-benar cerita tentang Indonesia. Hal aktual yang
terjadi di Indonesia yang bahkan akupun baru menyadarinya tadi setelah nonton.
Dari kedua film tersebut aku belajar, bahwa kayaknya bakalan susah banget kalo
mau merubah negeri ini. Sudah banyak oknum terkait di dalamnya. Human trafficking,
prostitusi, anak jalanan, kriminalitas di jalanadalah maslaah-masalah sosial
yang sudah mendarah daging. Susah memutus lingkaran tersebut. Mau mutus salah
satu, maka mengorbankan banyak orang. Hal-hal semacam itu terkadang menjadi hal
lumrah. Karena apa? Karena kita sudah tak tahu lagi caranya untuk mengembalikan
hal-hal tersebut ke kondisi yang lebih baik.
Misal, untuk PSK, banyak
perempuan yang akhirnya jatuh ke jurang prostitusi bukan karena keinginan
mereka. Ya siapa sih yang ingin hidup sebagai pelacur? Menjual selangkangan
hanya demi lembaran rupiah? Mereka dikucilkan dalam masyarakat, dianggap
penyakit, biang dosa, sebuah aib. Tapi di sisi lain, ada pihak-pihak yang
mengharapkan kehadiran mereka sebagai pemuas nafsu birahi mereka karena mereka
hanya menginginkan one night stand. Tanpa
ada tanggung jawab, tanpa ada komunikasi lanjut. Jadi ingat lirik lagu
kupu-kupu malam yang sempat dipopulerkan Peter pan (sebelum berubah menjai
noah):
Ada yang benci dirinya
Ada yang butuh dirinya
Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya
...
Mereka bekerja bukan hanya modal jual diri saja. Mereka memiliki agen, ah nama kerennya mucikari, germo ato mama-mama. Agen inilah yang yang mengelola mereka. Agen ini menyediakan bilik-bilik asmara, jaminan kemanan, tempat bermukim bagi para PSK. Tapi di sisi lain, agen ini adalah lintah darat. Mereka adalah pihak yang mengambil untung lebih besar daripada si PSK nya sendiri. Tarif yang dipatok PSK pada pelangganya sebagian besar akan masuk ke kantong para agen. PSK yang bekerja hanya mendapat sekian persen (kurang dari 50%) pendapatan yang mereka dapatkan dari hasil kerjanya. Ya gimana lagi? Kemsikinan yang sudah menjerat keluarga mereka di kampung meminta uang yang terus mengalir. Keluarga di kampung mungkin ga akan pernah tau darimana asal uang tersebut.
Mengapa mereka
tidak memilih bekerja hal yang lain? Sudah banyak program-2 yang ditawarkan LSM
dan departemen Sosial bagi para mbak-mbak ini, tetapi pelatihan-pelatihan
menjahit, memasak, merias tidak menarik bagi mereka. Uang yang diperoleh tidak
akan sebanyak yang dihasilkan pekerjaan mereka saat ini meskipun sudah dipotong
oleh agennya. Lagian kalo mau wirausaha, butuh modal. Siapa yang mau memberikan
modal bagi mereka? Apalagi status sosial mereka di masyarakat yang sudah
terlanjur jatuh. Siapa yang mau membeli hasil karya mereka jika mereka kelak
memilih berwirausaha? Lagi-lagi kepercayaan masyarakat pada mereka. Masyarakat sudah
mengkotak-kotakan manusia berdasarkan masa lalunya. Padahal menurutku, lebih
baik mantan maling daripada mantan ustadz. Lebih baik dulunya orang ga bener
trus jadi baik, daripada dulunya orang baik sekarang malahan jadi orang jahat. Jeratan
agen PSK inilah yang sebenarnya susah diselesaikan.
Well,
kenapa aku ngerti banget masalah perPSKan? Hal-hal semacam ini adalah hal-hal
kemanusiaan yang ga tabu lagi lah kalo dibicarakan. Media elektronik, cetak,
melalui tayangan tivi, berita, koran serta film menceritakan semuanya. Bahkan ada
salah satu mata kuliah yang pernah membahas bahasan ini.
Lagi-lagi
kemiskinan ya, yang menjadi masalah pertama dan utama mengapa semua masalah
sosial serta masalah-masalah lain terjadi. Kapan rakyat indoensia bisa kaya
semua, sehingga tidak perlu ada lagi berita kriminal di televisi?
Setelah menonton
kedua film ini jadi miris sekaligus sedih. Apa yang bisa kita lakukan dengan
permasalahan di sekitar kita? Tegakah kita berpangku tangan melihat anak-anak
kecil dengan lihainya nyopet sana –sini? Tegakah kita melihat anak-anak dan
perempuan dijual ke luar negri sebagai pekerja seks komersial di usia dan
keterbatasan yang mereka miliki? Oh plis.
Di bagian
terakhir film Alangkah lucunya (negriku ini) aku nangis. Closing film ini
menggunakan lagu Tanah Air karya Ibu Sud. Saat wisuda juga sempat dilantunkan
lagu ini, aku menetes. Teringat betapa tinggi dan megah cita-citaku untuk
menjadi ekspatriat di luar negeri. Memilih hidup, tinggal di luar negeri. Di negeri-negeri
yang kata orang hebat. Meninggalkan negeri sendiri, tempat dimana aku lahir,
makan, minum serta tumbuh. Betapa kurang ajarnya aku sebagai warga negara aku
hanya ‘numpang’ saja. Setelah berhasil malah minggat ke tempat orang.
Liriknya semacam
ini:
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Lalu apa yang akan kita lakukan,
teman-teman?
This note inspired by:
Film Jamila dan Sang Presiden, Alangkah Lucunya (negeri ini), Artikel harian Kompas tentang prostitusi, Materi kuliah Pengembangan Masyarakat.
No comments:
Post a Comment