January 10, 2014

DIMANA N(e)GERIKU?



Hari ini aku nonton 2 film indonesia yang menurut aku berkualitas. Engga nonton di bioskop juga, nontonnya di leptop. Nemu di hardisk. Ternyata pernah juga ngopy film ini dr file teman. Kedua film tersebut adalah Jamila dan Sang Pesiden serta Alangkah Lucunya (negeri ini). Kedua film tersebut dengar2 sempat mendapat penghargaan entah apa aku kurang paham. Dulu sempat ingin nonton film tersebut tapi karena film indonesia, lagi-lagi aku meletakkan posisinya di urutan paling bawah film yang bakal aku tonton. Ya benar saja, tadi sore habis pulang bimbingan rasanya aku pengen nonton film. Yang tersisadan belum kutonton salah duanya ya film tersebut. 



Kedua film ini adalah film indonesia yang aku bilang keren begete. Jauh dari film setan-setan yang ganjen, film-film komedi porno dan film-film cinta picisan yang isinya rebutan laki-laki. Film ini benar-benar cerita tentang Indonesia. Hal aktual yang terjadi di Indonesia yang bahkan akupun baru menyadarinya tadi setelah nonton. Dari kedua film tersebut aku belajar, bahwa kayaknya bakalan susah banget kalo mau merubah negeri ini. Sudah banyak oknum terkait di dalamnya. Human trafficking, prostitusi, anak jalanan, kriminalitas di jalanadalah maslaah-masalah sosial yang sudah mendarah daging. Susah memutus lingkaran tersebut. Mau mutus salah satu, maka mengorbankan banyak orang. Hal-hal semacam itu terkadang menjadi hal lumrah. Karena apa? Karena kita sudah tak tahu lagi caranya untuk mengembalikan hal-hal tersebut ke kondisi yang lebih baik. 


Misal, untuk PSK, banyak perempuan yang akhirnya jatuh ke jurang prostitusi bukan karena keinginan mereka. Ya siapa sih yang ingin hidup sebagai pelacur? Menjual selangkangan hanya demi lembaran rupiah? Mereka dikucilkan dalam masyarakat, dianggap penyakit, biang dosa, sebuah aib. Tapi di sisi lain, ada pihak-pihak yang mengharapkan kehadiran mereka sebagai pemuas nafsu birahi mereka karena mereka hanya menginginkan one night stand. Tanpa ada tanggung jawab, tanpa ada komunikasi lanjut. Jadi ingat lirik lagu kupu-kupu malam yang sempat dipopulerkan Peter pan (sebelum berubah menjai noah):


Ada yang benci dirinya

Ada yang butuh dirinya

Ada yang berlutut mencintanya
Ada pula yang kejam menyiksa dirinya
...

 

Mereka bekerja bukan hanya modal jual diri saja. Mereka memiliki agen, ah nama kerennya mucikari, germo ato mama-mama. Agen inilah yang yang mengelola mereka. Agen ini menyediakan bilik-bilik asmara, jaminan kemanan, tempat bermukim bagi para PSK. Tapi di sisi lain, agen ini adalah lintah darat. Mereka adalah pihak yang mengambil untung lebih besar daripada si PSK nya sendiri. Tarif yang dipatok PSK pada pelangganya sebagian besar akan masuk ke kantong para agen. PSK yang bekerja hanya mendapat sekian persen (kurang dari 50%) pendapatan yang mereka dapatkan dari hasil kerjanya. Ya gimana lagi? Kemsikinan yang sudah menjerat keluarga mereka di kampung meminta uang yang terus mengalir. Keluarga di kampung mungkin ga akan pernah tau darimana asal uang tersebut. 


Mengapa mereka tidak memilih bekerja hal yang lain? Sudah banyak program-2 yang ditawarkan LSM dan departemen Sosial bagi para mbak-mbak ini, tetapi pelatihan-pelatihan menjahit, memasak, merias tidak menarik bagi mereka. Uang yang diperoleh tidak akan sebanyak yang dihasilkan pekerjaan mereka saat ini meskipun sudah dipotong oleh agennya. Lagian kalo mau wirausaha, butuh modal. Siapa yang mau memberikan modal bagi mereka? Apalagi status sosial mereka di masyarakat yang sudah terlanjur jatuh. Siapa yang mau membeli hasil karya mereka jika mereka kelak memilih berwirausaha? Lagi-lagi kepercayaan masyarakat pada mereka. Masyarakat sudah mengkotak-kotakan manusia berdasarkan masa lalunya. Padahal menurutku, lebih baik mantan maling daripada mantan ustadz. Lebih baik dulunya orang ga bener trus jadi baik, daripada dulunya orang baik sekarang malahan jadi orang jahat. Jeratan agen PSK inilah yang sebenarnya susah diselesaikan. 


Well, kenapa aku ngerti banget masalah perPSKan? Hal-hal semacam ini adalah hal-hal kemanusiaan yang ga tabu lagi lah kalo dibicarakan. Media elektronik, cetak, melalui tayangan tivi, berita, koran serta film menceritakan semuanya. Bahkan ada salah satu mata kuliah yang pernah membahas bahasan ini.
Lagi-lagi kemiskinan ya, yang menjadi masalah pertama dan utama mengapa semua masalah sosial serta masalah-masalah lain terjadi. Kapan rakyat indoensia bisa kaya semua, sehingga tidak perlu ada lagi berita kriminal di televisi?


Setelah menonton kedua film ini jadi miris sekaligus sedih. Apa yang bisa kita lakukan dengan permasalahan di sekitar kita? Tegakah kita berpangku tangan melihat anak-anak kecil dengan lihainya nyopet sana –sini? Tegakah kita melihat anak-anak dan perempuan dijual ke luar negri sebagai pekerja seks komersial di usia dan keterbatasan yang mereka miliki? Oh plis.
Di bagian terakhir film Alangkah lucunya (negriku ini) aku nangis. Closing film ini menggunakan lagu Tanah Air karya Ibu Sud. Saat wisuda juga sempat dilantunkan lagu ini, aku menetes. Teringat betapa tinggi dan megah cita-citaku untuk menjadi ekspatriat di luar negeri. Memilih hidup, tinggal di luar negeri. Di negeri-negeri yang kata orang hebat. Meninggalkan negeri sendiri, tempat dimana aku lahir, makan, minum serta tumbuh. Betapa kurang ajarnya aku sebagai warga negara aku hanya ‘numpang’ saja. Setelah berhasil malah minggat ke tempat orang.  


Liriknya semacam ini:


Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan


Lalu apa yang akan kita lakukan, teman-teman?


This note inspired by:

No comments:

Post a Comment

Masuk Sekolah

  Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.                          ...