Romantisme lirik lagu Yogyakarta
yang ditembangkan Kla Project era 90an, mungkin menjadi salah satu sountrack bagi orang-orang yang pernah
datang bahkan menetap di Jogja. Susunan lirik yang apik dan manis termaktub dalam
satu rangkaian syair dan nada yang mengajak pendengarnya larut dalam suasana
Kota Jogja. Suasana kota yang bersahaja dan ngangeni.
Dikhaskan dengan pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan tradisional dan
musisi jalanan yang mengiringi PKL
tersebut menggelar dagangannya.
Kla Project tidak salah dalam
menggambarkan kota Jogja. Suasana Jogja saat itu adalah suasana Jogja tahun
90an. Saat Jogja masih belum tumbuh dan berkembang seperti saat ini. Belum ada
mall, belum banyak hotel, belum macet, belum banyak sampah dan tentu belum sering
banjir.
Sebuah kota memang bisa
menghadirkan suasana tertentu bagi penghuni dan orang yang datang. Suasana
tersebut dihasilkan oleh jati diri dan identitas kota sehingga menghasilkan
rasa yang khas dan berbeda dengan kota lain. Suasana merupakan salah satu hal
yang dapat dinikmati secara langsung oleh penghuninya. Orang bisa menilai Jogja
bersahaja dan nyaman, karena suasana yang ada memberikan perasaan tersebut. Kota
Yogyakarta yang masih kental dengan budaya Jawa, Salah satu destinasi
pariwisata, kota pelajar, serta masih adanya bangunan bersejarah mendukung Jogja menghadirkan suasana bersahaja
dan nyaman.
Saat ini, Jogja berkembang dengan
pesat mengikuti arus bergulirnya jaman, menjadi lebih modern dari waktu ke
waktu. Darimana kita bisa menilai modernitasnya? Mungkin dengan mudah kita akan
menjawab dengan banyaknya bangunan tinggi, hotel, mall, jumlah kendaraan bermotor, restoran cepat saji, serta
menjamurnya frenchaise swalayan
modern.
Sudah tidak sulit menemukan
tempat menginap dengan fasilitas mewah, outlet pakaian dengan brand internasional, bahkan produk
makanan atau keperluan sehari hari brand luar negeri sudah sangat mudah
dijangkau di Jogja.
Berproses menjadi modern bukan
sebuah kesalahan. Sebuah kota layaknya manusia juga tumbuh, berkembang dan
berubah. Tetapi kota adalah sebuah tempat yang memberikan suasana pada
penghuninya. Ketika dia berproses menjadi modern dan berkiblat pada kota-kota
pendahulunya, apa bedanya kemudian kota
tersebut dengan kota pendahulunya? Bukankah boleh berubah, tetapi sebaiknya
tetap menjadi Jogja yang bersahaja dan nyaman? Tidak perlu berandai menjadi
Jakarta bahkan Singapura.
Sekarang, coba capailah bangunan
paling tinggi di sekitarmu (bisa mencoba dengan gedung perpustakaan pusat UGM
lantai 5), kemudian amati gedung-gedung tinggi apa saja yang kamu ketahui.
Mungkin saat ini kamu bisa menyebutkannya satu persatu, karena kamu tau itu
bangunan apa dan lokasinya dimana. Mungkin beberapa tahun kemudian saat kamu
berada di tempat yang sama dan mencoba menebak bangunan apa saja, kamu tidak
bisa yakin. Karena bisa jadi hampir semua bangunan sudah memiliki tinggi yang
sama. Keindahan Merapi hanya bisa dilihat melalui gardu pandang saja, bukan
dari jendela kamar kosmu lagi.
Jogja sudah tidak berbeda dengan
kota-kota besar lainnya. Modernitas latah yang tidak memperhatikan kesahajaan
dan kenyamanan bercampur aduk dengan bangunan-bangunan tanpa identitas
tersebut. Modernitas merupakan hal yang perlu diawasi dan dikontrol. Karena
tidak semua hal berbau modernitas adalah baik. Gaya arsitektur bangunan modern
minimalis -yang saat ini banyak diadopsi bangunan-bangunan baru di Jogja- pun
sebenarnya sudah diakui para arsitek sebagai bangunan yang tidak memberikan
ciri identitas. Ciri khas tidak bisa hanya dihadirkan dalam sebuah brand nama
saja -mengusung nama Jogja, heritage, traditional-, suasana hadir karena adanya
tampilan fisik.
Mungkin akan hadir suatu masa
dimana berjalan-jalan di Jogja seperti berjalan-jalan di Jakarta. Bahkan saat
ini Jogja sudah mencicilnya dengan macet, banjir, serta sampah. Tipikal kota
berkembang yang seharusnya sudah diwaspadai pemerintah supaya bisa lebih ketat
mengontrol dan mengawasi pembangunan.
Jogja tidak berbeda. Tidak
berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Hanya menunggu waktu untuknya, kembali
atau meninggalkan identitasnya.
Nur Restiani Setyaningrum
Penulis adalah alumni Teknik PWK
UGM angkatan 2009
No comments:
Post a Comment