Dalam perkembangan sebuah kota-kota pada umumnya, dikenal istilah informal. Informal bisa didefisinikan sebagai suatu hal yang tidak formal, tidak resmi atau diluar aturan yang ada (KBBI).
Kondisi perkotaan tidak hanya didominasi oleh sektor formal, tetapi juga sektor informal. Tidak bisa dipungkiri bahwa sektor informal sangat menunjang perkembangan sebuah kota. Di beberapa negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang masyarakatnya masih banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, sektor informal merupakan tumpuan hidup mereka.
Sektor informal muncul sebagai sebuah respon terhadap keinginan individu untuk bersama-sama mencapai sebuah tujuan tanpa adanya ikatan yang mengekang. Bagi masyarakat menengah ke bawah yang sulit menjangkau kebutuhan sehari-hari, mereka akhirnya memilih sektor informal sebagai pilihan hidup mereka. Dari situlah kemudian muncul beragam kegiatan perekonomian seperti pedagang asongan, warung, kedai-kedai makan di pinggir jalan, perumahan-perumahan di pinggir sungai dan di pinggir rel kereta api, ojek motor, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan tersebut muncul karena mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi tidak mampu secara finansial untuk membayarnya, kemudian mereka mengambil jalur informal yang dalam menjalaninya tidak diperlukan aturan-aturan (Laguerre,1994).
Fenomena informal ini memiliki percabangan politik dan sosial. Jika kegiatan informal tidak dikenakan pajak, maka sebuah kota dan negara tidak bisa menyediakan pelayanan pada masyarakatnya. Kegiatan informal dilihat sebagai sebuah kegiiatan yang bersifat individualis, yang tidak memberikan kontribusi pada kotanya, tetapi hanya memberikan keuntungan pada diri mereka sendiri saja (Laguerre,1994).
Kegiatan informal di perkotaan menjadi pendukung terbentuknya wajah kota. Sebagian besar kegiatan informal dinilai sebagai hal yang ‘liar’ karena tumbuhnya memang tidak diatur, incremental dan sporadis. Keadaan inilah yang membuat kegiatan informal ini seharusnya bisa diatur sehingga tata ruang sebuah kota tidak semrawut seperti saat ini kita bisa lihat di Jakarta khususnya.
Sering kita sangka bahwa kegiatan informal selalu mengarah pada kegiatan ekonomi, padahal sebenarnya kegiatan informal tidak hanya ada di aspek ekonomi saja. Beberapa hal informal bisa kita jumpai pada aspek sosial, seperti tumbuhnya permukiman kumuh di bantaran sungai yang menurut undang-undang seharusnya jarak antara sungai dengan permukiman penduduk adalah 10 meter. Realitanya, banyak sekali rumah yang langsung berbatasan dengan sungai. Fenomena ini bukan hal yang asing atau mengejutkan lagi di beberapa kota besar di Indonesia.
Dari kenyataan inilah maka kegiatan informal tidak mungkin dihilangkan dan diberhentikan secara satu arah saja. Kebijakan yang tepat dalam mengatasi masalah informal di sebuah kota terletak pada kekuatan komunitas. Untuk beberapa kegiatan informal yang memberikan dampak positif misalnya seperti pedagang kaki lima, keberadaan mereka sangat membantu dalam kelancaran aktifitas masyarakat lain sehari-hari. Tetapi lokasi mereka bekerja yang menjadi masalah sebab biasanya PKL menjajakan dagangannya di trotoar jalan. Hal ini mengakibatkan ruang bagi para pejalan kaki berkurang. Kebijakan yang tepat seharusnya adalah mengadakan diskusi forum terbuka dengan para PKL yang intinya mengajak mereka untuk tetap berjualan tapi tidak dnegan mengganggu ruang bagi kepentingan orang lain, keputusannya apakah mereka akan dipindah lokasinya dengan lokasi yang lebih aman atau dengan tetap membiarkan mereka tetap berjualan di trotoar tersebut tetapi dengan pengkhususan kawasan. Misalnya, kawasan trotoar tersebut dibuka secara legal sebagai tempat berjualan PKL dnegan kesepakatan tertentu.
Sebuah keputusan tidak harus berjalan kaku sesuai dengan undang-undang, tetapi juga harus fleksibel, menguntungakn kedua belah pihak.
No comments:
Post a Comment