Selepas lulus, umm... bahkan sebelum aku lulus, aku sudah mencoba menebar pesona ke beberapa tempat kerja. Baik swasta maupun negri. Alhamdulillah di beberapa tempat yg prestise aku bisa lolos di tahap pertama, kedua ketiga..bahkan hingga tahap akhir..tinggal wawancara final aja lah. And every step I took, I failed. Perfectly.
Again, again and again, I try so hard to make sure, there are a lot of chance I can take to make my dream comes true. Being a career woman living in a metropolitan city. Blame me for being contaminated by some novels, books, movies I've ever read and seen, which are talked about single woman, living in capital city, brave, cool, georgeous, and independent. Yeah, Iam a good or maybe best dreamer. But I am not only dream, I do whatever I can do to make my dream can be a reality.
Maybe, God doesnt agree if I live in metropolitan city called Jakarta. Paradise and hell in one city. Based on the national history, Jakarta used to be a one of famous harbour in Java island. Its location makes Jakarta the best place to be trade center. In the past, people came to Jakarta to find a better job. Now we called urbanization.
Jakarta dulu sempat berganti nama sesuai dengan siapa yang menguasainya. Jakarta sempat jadi tempat rebutan juga. Antara penguasa Indonesia dan juga Belanda. Betapa pesona Jakarta memang sudah menjadi takdirnya. Entah apa yang dimiliki sehingga magnet yang begitu besar tersebut menghantarkan dia menjadi Ibu Kota Indonesia. Hanya secuplik wilayah kecil di utara pulau jawa bagian barat. Saat ini wilayah tersebut menjadi wadah beban terberat pulau jawa.
Jakarta dari jaman dahulu kala hingga saat ini dengan pesonanya, meninggalkan cacat yang harus dirasakan setiap waktu oleh penghuninya. Banjir. Luapan air yang memang jika tidak diberi resapan akan menggenang daratan kota ini. Belanda saat menduduki Jakarta lebih memiliki sikap memelihara. Kepandaian mereka, mereka aplikasikan untuk mendesain Jakarta supaya terbebas dari Banjir langganan. Sekarang, saat hampir semua manusia bergelar sarjana mengisi Jakarta, saat jaman sudah merdeka, banjir semakin parah saja. Bahkan untuk memperkecil rasa bersalah pemerintah, sampe ada frasa "banjir kiriman". Mending dikirim uang atau makanan. Seolah-olah banjir datang bukan hanya karena salah penataan kota, tapi karena "dikirim" dari kota sebelah.
Dengan permasalahan kota besar di negara berkembang, Jakarta masih saja menjadi tujuan. Menyandang nama Jakarta sebagai kota domisili sementara menjadi hal yang membanggakan.
"Kerja di mana sekarang?"
"Di Jakarta"
Terutama jika kamu adalah seorang FreshGrad. Dalam pikiranku dan mungkin saja pikiran orang-orang pada umumnya mendengar jawaban seperti itu pasti "Wow, keren ya, hebat ya, di Jakarta".
Hebat dan Keren memang kata teman-2ku. Pulang kerja mereka bisa hang out ke tempat2 gaul Ibukota. Counter2 pakaian ternama berjajar di sana, menunjang penampilan setiap saat. Orang-orang hebat yang setiap hari muncul di layar tivi bisa dengan mudah di lihat, bahkan di tempat umum. Gedung2 bagus dan menjulang yang nyaman untuk bekerja. Nama-nama perusahaan beken yang bergaung di setiap lantai gedung, menunjukkan betapa hebatnya manusia-manusia di dalamnya. Kehidupan yang sepertinya modern dan dinamis.
Teman-2ku mengiyakan itu semua, di samping mereka juga menceritakan selama ini mereka jarang bertemu matahari. Berangkat saat pagi buta, pulang saat malam gulita. Keluhan mereka di media sosial saat jam pulang kerja menunjukkan masa muda mereka terkikis sedikit demi sedikit d jalanan. Keengganan sebelah mereka untuk menjawab saat ditanya "jam berapa", membuat mereka semakin tidak peduli.
Jika benar Jakarta seperti itu,
Kenapa masih saja mereka mau ke Jakarta?
Kenapa aku masih penasaran dengan Jakarta?
Jika benar intelektualitas diri ini sanggup, tetapi takdir dari atas tidak mengatakan "IYA" buat apa memaksa dan harus kesana?
Bukankah, masih banyak tempat untuk hidup dan bekerja tanpa adanya tekanan-tekanan sosial dan mental?
Meski bukan warga ibu kota, meski tidak bekerja di gedung bagus dengan label ternama dan pakaian mahal, masih bisa hidup, ya kan?
Belajar hidup?
Belajar mandiri?
Batu Loncatan?
Semua tempat bisa memberikan itu semua. Tidak perlu memaksa ke Jakarta jika bukan takdirnya.
Tetapi batu loncatan, bisa jadi Jakarta. Tapi entahlah. Untuk meloncat kemana harus ke Jakarta dulu?
Hidup selalu adalah pilihan.
Seperti tempat untuk hidup, seperti memilih Jakarta atau bukan.
Ketika memilih untuk keberlangsungan hidup, pastilah kita memilih tempat yang nyaman, aman dimana kita bisa berkumpul dengan keluarga dan membesarkan anak-anak tanpa rasa cemas dan takut secara berlebihan.
Jika keputusan itu ada sekarang, maka aku lebih memilih untuk tidak ke Jakarta.
Aku tidak perlu ke Jakarta.
Biarlah Jakarta seperti itu apa adanya. Biarlah mereka yang dengan takdirnya saja yang ke Jakarta. Biarkan aku yang dengan takdirku tetap di sini. Atau di tempat lain yang bukan Jakarta.
Setiap kita memiliki takdir tempat yang berbeda. Setiap kita dipercaya untuk bisa menjaga kotanya.
Toh, Tuhan tidak akan mengumpulkan kita nanti di hari kiamat berdasarkan domisili, tempat kerja, atau merk pakaian yang dipakai setiap hari.
Toh, hidup di Jakarta bukan menjadi jaminan kita hidup bahagia.
Toh, kita tidak bisa menyombongkan Jakarta saat ditanya malaikat.
Jadi, Res, Jakarta atau tidak?
Salam,
Resti
-seseorang yang pernah bermimpi menjadi besar di ibukota, menjadi bagian metropolitan yang gagah, dan kemudian harus sadar bahwa Tuhan tidak menjalurkan takdir ke arah sana. Harus belok atau menetap di tempat yang akan lebih banyak kejutan nantinya-
No comments:
Post a Comment