Ngomongin culture shock kali ini aku terinspirasi oleh obrolan ku di bbm barusan sama temen jaman SMA. Culture shock yang aku maksud bukan kekagetan karena beda budaya banget kaya aku yang orang indonesia bermuka jawa banget ini dikirim ke pedalaman afrika sana yang disana orangnya barbar suka makan orang. Aku beneran culture shock kalo gtu caranya. Atau aku yang bermuka jawa banget ini dikirim ke LA USA. Dimana kalo pas jalan di kota cewek2 nya cuma pake tank top doang. Yang lagi jalan tetiba liat orang ciuman bibir di pinggiran...OMG!
Makan sama Putri Huan Zhu ceritanya, terus gatau cara pakek sumpit
Ya, sebenernya sama aja sih ya. Culture shock mengacu pada pengertian dari http://teenshealth.org/teen/your_mind/emotions/culture_shock.html yang diakses Sabtu, 17 Mei 2014 11:40 WIB.
Culture shock isn't a clinical term or medical condition. It's simply a common way to describe the confusing and nervous feelings a person may have after leaving a familiar culture to live in a new and different culture. When you move to a new place, you're bound to face a lot of changes. That can be exciting and stimulating, but it can also be overwhelming. You may feel sad, anxious, frustrated, and want to go home.
Nah, kali ini aku bukan ngomongin culture shock antar negara ya. Kali ini mau ngomongin culture shock dalam jangkauan dosmestik aja. Karena sebuah perpindahan terutama perpindahan ke tempat baru aku meyakini akan menimbulkan shock, seberapapun kecilnya. Bahkan dalam satu pulau pun atau satu provinsi, perbedaan lokasi tempat tinggal punya perbedaan budaya juga.
Sebagai mahasiswa rantau (rumah di purwokerto dan kuliah di jogja *hampir 5 taun*), pertama kali pindahan buat kuliah, aku juga mengalami yang namanya culture shock. Dari yang biasa apa apa ada di kulkas, sarapan smpe makan malam ada yang nyiapin, baju ada yg nyuci, nyetrika, pokoknya zona nyaman banget....lalu ngekos itu culture shock. Ngekos yang cuma tinggal di kamar sendiri, segala sesuatu terbatas, apa-apa dilakukan sendiri, makan harus cari sendiri, nyuci dll sendiri. Hampir segala sesuatu butuh keluar dan harus pinter ngatur isi dompet. Ntar bisa2 tekor akhir bulan ga makan apa-apa. Belum lagi kalo home sick, kangen orang tua di rumah...Oke itu sudah berlalu.
Itu masalah yang datang dari kebiasaan diri sendiri, sekarang yang mau aku bahas adalah pengaruh yang datang dari luar.
Datang dari kota kecil seperti Purwokerto, yang ga punya mall, yang McD aja juga ga ada, yang sekota bisa kenal semua, lalu datang ke kota Jogjaaaa *bacanya kaya iklan yg 'a' terakhirnya medok tapi mangap* yang ramai dan berhingar bingar....aku jujur aja katrok. Oke deh sebelumnya aku juga pernah ke jogja. Pernah ke Mall juga. Tapi bed loh, datang ke suatu tempat untuk holiday dan untuk living.
Tugu Jogja, Salah satu Landmark Kota Jogja
Jogja bagiku dulu adalah kota besar, dia provinsi istimewa sendiri di pulau jawa. Di Jogja banyak bangunan tinggi diatas 3 lantai. Punya mall, bahkan sekarang mau nambah 5 lagi. Ada trans jogja, ada taxi banyak banget, banyak tempat sekolah, aaahhh....bayanganku dulu aku apakah sanggup tinggal sendiri di jogja tanpa siapapun.
Belum lagi kalo baca berita, ttg life style mahasiswa di jogja dalam tanda kutip. Ada yang yaaa,,,bobo bareng p*car, kumpul k*bo, cl*bbing, g*y, dll *sorry to mention all of these, but they're reality*.
Selain itu, aku adalah anak yang cukup nggumunan *norak, kaget, kagum*. Di Jogja karena udah lebih urban dan modern dari Purwokerto juga mempengaruhi cara penampilan dan gaya hidup penduduk kotanya. Terutama karena disini banyak sekolahan, anak kuliahan dan anak sekolahnya kece2.
Sekali datang ke mall *kala itu amplas*, aku amaze aja gtu, laki-laki dan perempuan cantik, ganteng dan bersih. Yakin deh itu pakaiannya selembar ratusan ribu bahkan mungkin jutaan. Sepatunya bukan sepatu yang layak dipake naik motor. Yah, pasti tongkrongannya mobil. atau kalo naik kendaraan umum pastilah taksi.
Melihat gaya dan keseharian di jogja, yang begituan ternyata ga banyak kok. Yang biasa juga ada.
Teman di Purwokerto yang lanjut kuliah di jogja bukan cuma aku doang, banyak teman2 lain. Awalnya juga mereka sama kaya aku. Masih pake penampilan jaman dulu di Purwokerto *bahkan aku sampe sekarang juga masih sama*. Semakin taun, teman2 banyak yang berubah. Aku sering ketemu beberapa teman di stasiun, mall, toko buku bahkan di kampus, mereka sudah berubah.
Mereka berubah dan menjelma menjadi penduduk kota besar. Bahkan tidak terlihat sama sekali kalo dulu mereka berasal dari kota kecil kaya aku.
Mulai dari teman wanita yang sekarang dandan kemana-mana. Mulai dari make-up yang aku gatau kenapa jadi lebe. Terus sandal yang selalu pake wedges kemana-mana. Jenis pakaian. Bahkan merambah ke merk pakaian yang cuma ada di mall. Oke well.
Kalo teman laki-laki, biasanya yang ganti adalah kendaraan dan gadget mereka. Penampilan juga sih, pakaian biasnaya bakalan ganti yang keluaran distro, yang cuma ada one and only *padahal sering juga liat orang make kaos dengan gambar yang sama*.
FYI, ini ga berlaku ke semua orang ya, cuma beberapa doang, itu juga yang aku lihat.
Hal yang paling kentara adalah medsos. Iya lagi-lagi kita sekarang ini mesti liat kabar teman kita lewat medsos. Suka takjub aja sekarang liat teman-teman yang sudah berubah. Dari segi penampilan bahkan sifat juga *mungkin*. Misal, ada aja teman kita yang dulu cupu banget istilahnya, sekarang jadi modis. Pas jaman sekolah dia bukanlah siapa-siapa ternyata sekarang jadi artis. Teman yang jaman sekolah adalah 'artis sekolah' sekarang bukan siapa-siapa, malah entah gatau kabarnya gimana.
Yang dulu kalo main cuma pake kaos dan jeans aja, sekarang mesti pake dress, padahal cuma makan bareng. Yang dulu kalo pake baju serba nutup, sekarang 'jendala' nya dimana-mana. Ada yang dulu main aja ga pernah, sekarang kalo nongkrong di kafe-kafe yang minumnya warna warni.
Banyaaak banget yang berubah. Terutama jika yang pada kuliah di kota besar kaya jakarta, bandung, jogja, semarang, surabaya. Sekali lagi itu ga semua ya.
Berubah kaya Bety La Fea
Kadang aku berpikir, kenapa berubah? kenapa harus sama seperti yang lain berubahnya?
1. Ya, namanya peralihan dari masa remaja ke dewasa butuh adanya pencarian jati diri. Mungkin selama ini kami semua mencari siapa kami sebenernya. Pencarian jati diri ini bisa dengan cara mengkopi/meniru. Bisa sama persis atau di modif. Atau dengan eksperimen.
2. Pengaruh sosial dan lingkungan. Ini yang aku sebut dari urbanisasi. Bukan cuma perpindahan secara fisik, tubuh kita dari desa ke kota. Tapi perubahan sifat 'mengkota'nya kita. Perubahan dari gaya hidup yang 'ndeso' menjadi 'urban'. Ini bukan kesalahan, ini fenomena dan lumrah. Manusia beradaptasi to? Adaptasi mengharuskan kita berubah. Biar kita bisa sesuai. Nah adaptasi ini adalah fase terakhir dari culture shock. Bisa jadi loh. Berubah karena ikutan lingkungan dan karena udah bisa beradaptasi.
3. Status sosial kita. Bisa bergaya kan pastinya karena punya modal, punya modal karena pasti punya sumber dana kan? Jujur, aku juga bisa beli beberapa barang penunjang penampilan juga dari beberapa sumber yaitu bayaran freelance. Semakin bertambah usia kan kita mesti tampil sesuai umur kan? Misal ga mungkin lagi sekarang main pake sandal jepit *meskipun aku masih seneng kemana-mana pake sandal jepit*. Apalagi yang anak-2 S2 an, udah jarang gtu ngampus pake kaos. Minimal kemeja atau blus. See?
Belum lagi pas kejadian seorang teman yang sandalnya copot saat nonton di bioskop, lalu aku belikan sandal jepit, dia merasa risih dan malu. Ya, dia pegawai di tambang minyak. Ga level mungkin ya hang out pake sandal jepit.
4. Merasa sudah 'bebas'. Merantau, pergi jauh dr orang tua, jauh dr pengawasan mereka juga. Mungkin dulu yang ga berani buat gaya-gayaan karena malu atau ga boleh sama orang tuanya, saat pindah inilah jadi tempat buat mereka berubah. Berubah menjadi apa yang orang lain juga lakukan. Berubah dari cap 'anak mami', 'anak rumahan' menjadi 'anak gaul'. Berubah yang jam 9 udah harus bobok, sekarang jam 9 starting party!
Anything else? *please comment on this post*
Aku ga mengejudge siapapun yang berubah. Karena aku juga berubah, tetapi mungkin tidak terlalu jauh. Orang cuma bakal liat resti sekarang 'gemukan'. Fak.
Berubah karena hal apapun selama mereka suka dan mampu ya biarkanlah. Atau hanya memilih seperti aku aja, stay simple, tapi tetep curious sama perubahan orang lain juga monggo.
Tapi pastinya berubah dengan bertanggung jawab. Ga asal ngikutin lingkungan, temen atau tuntutan pekerjaan.
Be yourself *ngutip kata2 jaman tukeran nulis di binder temen jaman SMP*, ternyata bukan sekedar kalimat pesan yang sok 'keminggris'.
Inget ga? jaman dlu pas SD/SMP gtu suka nulis di kertas binder atau diary temen buat diedarin, pasti ada pesan dan kesan kita yang sok bisa pake bahasa inggris nulis 'be yourself''. Rasanya bangga aja gtu. Cuma dua kata yang suka kita murahin dulu kemana-mana, ternyata merupakan sebuah hal yang sulit dimengerti saat ini.
Kita yang telah berubah, kadang tidak tahu apakah perubahan ini adalah masih dengan diri kita sendiri, atau kita hanya menggunakan topeng supaya di terima di lingkungan kita.
Dan aku, masih sangat takut jika suatu saat aku harus pindah lagi dari Jogja ke tempat yang lebih urbanized, apakah aku akan tetap bisa berani make sandal jepit kemana-mana. Apakah aku akan masih takut untuk menjadi diriku sendiri yang seperti ini di keramaian manusia di Broadway *misalnya*.
Ah sudahlah. Mungkin memang kita, aku, kamu, dia, mereka harus berubah. Berubah supaya lebih baik selalu ya. Entah suatu saat kalian bakal liat aku make sandal jepit ando biru ke MOI atau aku yang megang hermes dan pake loubutin di MOI. Hahaha.
Salam dari Jauh
Resti -masih tetap sama, hanya nambah lebar, salahin makanan di jogja yang enak-enak-
sumber:
No comments:
Post a Comment