Aku tak ubahnya seperti seekor beruang di musim kawin ketika aku sedang IN A GOOD MOOD. Aku berlarian, ide mengalir tiada henti, selalu tersenyum sekalipun aku tau lagi-lagi kakiku menabrak kaki meja.
Dan aku akan seperti singa masai yang berhibernasi setelah seharian mungkin manghadap leptop berurusan dnegan segala tetek bengek pekejaan yang membuat aku sampe sekarang ga bisa punya kesempatan just flirting ke kaum adam.
source:http://uyayunahatake-on.blogspot.com/2010/10/polemik-wanita-terik-matahari-timbangan.html
Aku bukan seorang gadis belasan tahun yang masih berpikiran tentang idealisme kehidupan. aku sekarang adalah seorang wanita dan tentu saja masih gadis -aku belum pernah melakukan 'hal itu' dengan siapapun- yang sedang dalam proses..Sebuah proses yang aku yakini aku bisa mendapatkan segala yang aku impikan dengan cara yang lebih real. bukan dengan hanya duduk mengandai-andai diatas balkon rumah.
Sudah sejak hampir 3 tahun lalu aku meninggalkan rumah untuk merantau di kota ini. Sebuah kota yang menjadi impianku sejak aku memasuki gerbang sekolah menengah nomor satu di kotaku. Akupun kini merasa asing jika aku harus kembali ke rumah orang tuaku. Aku merasa seharusnya aku sudah bisa menabung untuk membeli sebuah rumah atas namaku.
Hei,,,aku seorang perempuan. Kata teman kampusku, seorang perempuan tak usahlah yang namanya repot mikirin rumah. Kelak dia akan memiliki suami, maka dari suaminyalah rumah itu ada. Dan kata temanku yang lain, kita sebagai wanita harus pandai-pandai memilih calon suami. At least...dia sudah berwibawa....wiiiii,punya rumah sendiri, punya mobil sendiri, punya semuanya sendiri...
Ya iyalah...semua wanita pasti berharap seperti itu. Tapi mungkin agak berbeda denganku. Aku ingin punya rumah benar-2 atas keringatku. Atas segala upaya jerih payahku selama aku hidup. Selama aku berjuang di berbagai indtistusi pendidikan terbaik yang selama ini aku berhasil masuki. Atas segala ilmu yang aku dapatkan dari pengajar-pengajar hebat di dalamnya. Dan tentu saja atas segala harta benda yang orangtuaku korbankan selama ini untuk aku, anak perempuan pertamanya yang dengan yakin memilih dunia teknik untuk mencari nafkah.
Aku selalu terobsesi menjadi seorang wanita karier yang hebat. Yang selalu pergi pagi dan pulang malam untuk bekerja. Mengenakan sepasang stiletto berhak tinggi di belakang sebuah kemudi mobil mewah dan memiliki apa yang selama ini aku inginkan.
Baju-baju dari butik ternama, sepatu-sepatu cantik yang bukan barang iskon di sebuah mall, perawatan top to toe di sebuah tempat perawatan mahal yang tidak memiliki embel-embel 'salon kualitas bos harga anak kos', bukan lagi seperti itu. Melanjutkan pendidikan master sampai doktoral di luar negeri. Eropah misalnya. Atau Amerikah atau Australia. Ah, bahkan asiapun belum aku jamah semua.
Aku bahkan tidak memikirkan dnegan siapa kelak aku akan hidup. Dengan pria macam apa aku akan mengikat janji sehidup semati. Akan berapa buah anak yang aku ingin miliki. Aku bahkan belum memikirkan tentang itu. Mungkin aku memikirkan, tapi itu berada di prioritas terbawah, dikalahkan keegoisanku.
Iya, aku egois. Mantanku bilang akau adalah sesosok wanita egois yang tidak pernah mau tau.
Kata siapa aku tidak pernah mau tau, toh selam akau menjalin hubungan dnegan dia, aku rasa akulah yang selalu lebih perhatian dibanding dia. Dia juga sama saja sepertiku. Sama-sama egois. Mungkin inilah faktor lain yang menyebabkan aku dan dia berpisah. Karena setiap haripun hubungan kami yang terpisah sejauh 100 kilometer ini seperti keadaan perang tahun 1945. Ribut, bertengkar, ahhh. semacam itulah kami. Tapi tak dipungkiri aku merasakan masa-masa indah bersama dia. Walaupun hanya seumur jagung. Mungkin lebih baik saat kami mula jadian kami bersama-sama menanam benih jagung ratusa hektar di sebuah ladang, lumayan ketika putus kami bisa panen jagung kemudian kami jual. Hush! sebuah imajinasi bodoh yang ga pantes dibicarakan.
Saat ini konsentrasiku hanya satu. Menyelesaikan studi sarjanaku dalam jangka waktu dekat. Aku tidak ingin 'wasting time' buat hal-hl yang menurutku ga berguna.
Bersambung
No comments:
Post a Comment