Assalamualaykum teman-teman blog! Sudah lama sekali ga menyapa lewat blog, alasan klasik tolong diterima ya.
Pict from here
Alhamdulillah, bulan juli tiba, bulannya kesibukan ibu-ibu mengurus anak berangkat sekolah dimulai. Tahun ini, Sulung kami masuk ke jenjang TK B dan pindah sekolah (karena kami saat ini sudah pindah tempat tinggal juga, next time ya ceritanya).
Sebelum memutuskan untuk memilih sekolah dimana, kami sebagai orang tua (aku dan paksu) sudah terlebih dahulu melihat-lihat secara online sekolah-sekolah yang ada di wilayah kami yang baru. Meskipun wilayah ini adalah wilayah kekuasaanku sejak aku kecil, time flies, everything has changed. Kami perlu melakukan pencarian data dengan cara “tinjauan online’ serta wawancara kepada teman-teman yang memiliki anak-anak usia sekolah.
Wah, tidak menyangka, kota kelahiranku yang dulu aku anggap kecil dan ndeso, saat ini memiliki banyak fasilitas pendidikan yang berkualitas dan jumlahnya semakin bertambah. Kami sendiri, akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan si sulung di sekolah yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggal kami. Sebab untuk usia TK jarak tempuh yang jauh dan kemacetan pagi hari bukan sesuatu yang kami inginkan bagi anak kami. Qadarullah, ternyata Gedung TK mulai tahun ajaran baru 2023 pindah ke Gedung baru, bergabung dengan SD nya. Jaraknya masih cukup terjangkau bagi kami. So, it is ok!
Kami memilih menyekolahkan anak kami di sekolah yang berbasis Islam, karena kami muslim. Tentu saja dengan pertimbangan jarak, serta biaya yang bagi kami cukup masuk akal. Sebab tahu sendiri ya, saat ini banyak sekolah-sekolah yang menawarkan beragam kurikulum bahkan kurikulum internasional. Sehingga bayaran sekolahanya pun mengikuti. Oiya, meskipun berbasis Islam, kami juga penuh kehati-hatian dalam memilihkan sekolah. Sebab banyak pertimbangan terkait dengan penanaman tauhid serta akidah yang harus dijaga dan lurus sesuai sunnah. Minimal sekali masih berada di jalur yang benar.
Menyekolahkan anak di sekolah berbasis agama, memang menjadi salah stau tren yang diminati orang tua di masa kini. Karena diharapkan anak-anak selain dapat ilmu akademik juga dapat ilmu agama.
Dulu, aku juga sempat berpikir demikian. Tetapi tertampar kemudian karena sebuah reminder dari postingan atau dari grup parenting (lupa banget dapet darimana). Bahwa, sekolah itu bukan tempat untuk mendidik. Sekolah yan tempat sekolah. Tugas mendidik adalah tugas utama orang tua. Jangan sampai, kita sudah menyekolahkan anak di sekolah agama, lantas menjadi shortcut untuk berlepas diri dari tanggung jawab tersebut. Terutamanya tanggung jawab untuk mengajarkan agama kepada anak.
Makjleb sekali bukan. Dengan kualitas dan kondisi pemahaman agama yang masih cetek, kadang aku merasa sedih. Apa yang bisa aku ajarkan ke anak-anakku. Huruf hijaiyah? Makhraj huruf pun aku belum bisa T_T. PR sekali bukan jadi orang tua. Rasanya selalu marathon dengan tumbuh kembang anak-anak.
Saat belum menikah dan punya anak, kita sering terlena untuk selalu mengejar ilmu duniawi yang akan menunjang pekerjaan kita. Mengambil lanjutan S2, S3, short course dan lainnya. Saat menikah dan menjadi orang tua kita kewalahan dengan banyak hal yang kita hadapi. Karena semua totally new. Bahkan orang tua kita sendiri pun belum tentu mengajarkan dan mewariskan ilmu tersebut. Diwariskan pun kadang sering bertentangan dengan konten-konten yang sering dibagikan para dokter, psikolog dan selebgram di akun IG.
Seperti saat masuk sekolah kali ini pun, meskipun bukan pertama kali bagi si Sulung (karena sebelumnya sudah TK A tetapi tidak sampai selesai), aku sempat worry kepadanya. Kepada diriku sendiri juga sih.
Worry apakah nanti dia bisa beradptasi dnegan teman-teman, guru dan sekolah barunya? apakah dia bisa mendengar dan memahami penjelasan guru di depan kelas? Apakah dia bisa bergaul, berteman dan berkenalan dengan teman baru? Apakah dia apakah dia apakah dia apakah dia….. too much.
Akupun sendiri kenapa jadi sangat galau, padahal sebelumnya sangat bersemangat karena melihat anakku mematut seragam barunya 3 minggu sebelum masuk sekolah. Ibunya malah yang kena demam panggung. Selain worry dengan kondisi anak, juga cukup worry dengan bagaimana nanti tipe wali murid kelasnya? Sebagai tipe yang mudah terkuras energinya jika ngobrol dengan banyak orang, aku cukup hati-hati ketika berkomunikasi dengan orang baru.
Karena tampilan muka yang setelan pabriknya judes ini, kurang cocok ya bersosialisasi yang harus banyak senyumnya T_T
Apalagi jika ada kegiatan kumpul-kumpul, aku ga bakat banget. Karena ya itu tadi, sering kelelahan kalo ketemu banyak orang.
Oh iya, aku worry juga apakah bisa selalu istiqomah membawakan bekal snack dan maksi yang variative buat si Sulung…uwwww. Memutar otak, supaya menu tetap bervariasi, sehat, bergizi, ga ribet dan tetap masuk di anggaran bulanan.
Apapun itu, satu minggu pertama sudah terlewati dengan baik dengan ijin Allah.
Minggu ke dua kali ini (tentu saja dan seterusnya) semoga semakin lancar dan menjadi habit yang baik buat kami semua.
Semoga para orang tua selalu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Serta anak-anaknya bisa menjadi anak-anak yang soleh dan solihah.
Aamiin.
Salam, piss love and gawl!
Wassalam.
Resti
-pejuang bekal dan ojek sekolah-